Monday, February 18, 2013

soal Kanji bahasa Jepang SMA Persiapan UN 2013



漢字の試験
名前:。。。

I.                    この下の文を読んで、漢字の読み方を書いて下さい・
1.学生のつくえのがあります。でも、先生のつくえのもありません。
2.十二年生のきょうしつの大きい があります。木の下に小さいいけがあります。すずしいです。
のきょうしつの後ろにしょくどうがあります。
3.せいせきをもらう来月六日 火よう日です。学校七日からは休みます
4.   A: おととい、1日 水よう日でした。今日何日 何よう日ですか。
B: 今日3日 金よう日です。あした四日 土曜日ですよ。
5.田中さんと山田さんは日本人です。がほくてせが高くて 上手でハンサムです。
6.山下さんのお母さん大学の先生でお父さん小学校の先生です。 おねえさんは高校生でいもうとさんは中学生の一年生です。
7. あさ六時半におきます。をあびてあさごはんを食べて車で学校へ行きます。
8.四月 に日本ははるです。がさきます。花見があります。たくさんがこうえんへ桜をに行きます。きれいです。
9.あの白いくつはいっそく一万三千六百五十ルピアです。
10.  そのケーキを六つとコーラを一本をおねがいします。
11.このみちをまっすぐに行って二番めのかどをにまがって下さい。本やは花やのがわにあります。
12.あのはえを書くのが好きです。私はおんがくを聞くのも好きだしまんがを読むのも好きです。
13.えいのしけんは午前 八時半にはじまります。
14.からまで電車三十分ぐらいかかります。電車の中でだちに電話をかけます。
15.今年二月に日本に来ます来年九月にインドネシアへ帰ります
II.                  文を読んで、漢字の書き方はどうですか
1.ブロモさん は きれいです。やまのとなりにちいさいかわがあります。
2.うちのそとくるまがあります。くるまのうしろどもがふたりいます。
3.いもうとはからがじょうずですがからおけはへたです。おとうとはどちらもできません。でも、がいこくごがわかります。にほんごとえいごもはなすことができます。
4.なおみさんへ。おげんですか。 いま、とうきょうのてんきはどうですか。インドネシアによく
あめがふっています。にほんにゆきがふっていますか。
5.あのがいこくじんのおくにはどちらですか。おしごとはなんですか。
6.かみでなまえとばんごうをかいてください。
7.スラバヤからジャカルタまでなんじかんぐらいかかりますか。
8.きょうしつのなかおとこがくせいは20にんがいます。

。。頑張って下さい。。

Thursday, February 14, 2013

Komersialisasi Perguruan Tinggi dalam prespektif Liberalisme menafikkan hak warga negara akan pendidikan



KOMERSIALISASI PERGURUAN TINGGI 
DALAM PRESPEKTIF LIBERALISME MENAFIKKAN HAK WARGA NEGARA AKAN PENDIDIKAN 


Yulia Pratitis Yusuf
S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Surabaya, yulia_yusuf@ymail.com

Abstrak
Undang Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012 mencederai amanat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan Nasional, juga menimbulkan polemik dan dualisme dari segi yuridis konstitusional dengan Undang-Undang  SISDIKNAS No. 20 tahun 2003. Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak setiap Warga Negara Indonesia seperti yang termaktub dalam UUD 1945. Liberalisasi pendidikan di Indonesia berdampak pada adanya penetapan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan pemberian Student Loan bagi mahasiswa. Liberalisasi Pendidikan melahirkan praktik Komersialisasi pendidikan, dengan ditandai oleh biaya pendidikan Tinggi yang melambung, mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat, dengan kata lain hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi. Pemerintah sebagai penyelenggara Pendidikan Nasional diharapkan untuk segera mengambil langkah-langkah yang tepat dan strategis sebagai wujud dari evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh sistem pendidikan yang ada di indonesia.

Kata Kunci: Komersialisasi, Liberalisasi, dan Hak Warga Negara akan Pendidikan.
  
Abstract
The law of Higher Education No.12 in 2012 injures the 1945 Constitution Article 31 on national education, and it also caused polemics and duality in terms of constitutional jurisdiction with the National Education Law No. 20 of 2003. The qualified and affordable education is the right of every Indonesian citizen as stated the 1945 Constitution.
Liberalization of education in Indonesia have an impact on the realization of University Lavel BHMN (Badan Hukum Milik Negara) and giving Student’s Loan. The Liberalization of  Education practice, marked by Higher education costs soar, more expensive and not affordable to the public, in other words the right of every citizen to get a decent education and quality can not be met by the government as mandate of the constitution. The government as the organizer of Education is expected to immediately take appropriate measures and strategically as a form of evaluation and improvement of the overall education system in Indonesia.

Keywords: Commercialization, liberalization, and the Right of Citizens shall Education.  





PENDAHULUAN

Apa yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan petunjuk yang sangat otentik tentang kemana seharusnya pendidikan Indonesia akan dibawa, tentu saja pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah idealnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
      Yang mana esensi dari mencerdaskan kehidupan bangsa diterjemahkan salah satunya dalam pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 yang membahas mengenai pendidikan di Indonesia, ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Inti dari Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 3 adalah (1) setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) pemerintah mempunyai kewajiban menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
      Hak warga Negara untuk mendapatkan pendidikan juga tertuang dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu”.
      Dalam kalimat “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, secara terminologi bahasa, kata “setiap” berarti “tiap”, dapat diartikan bahwa tiap-tiap anak bangsa mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Tetapi apa yang terjadi di lapangan tak seindah harapan, bila dilihat dari statistik yang dibeberkan oleh Perhimpunan Rakyat Pekerja, yang diunggah dalam blog http://www.prp-indonesia.org/2012/ pada tanggal 30 Oktober 2012 menyebutkan bahwa rasio jumlah mahasiswa baru tahun 2011 dengan populasi anak bangsa yang berusia 19-24 tahun tidak seimbang, angka partisipasi kasar yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi hanya 18,4% dari jumlah populasi anak usia 19-24 tahun yang seharusnya melanjutkan ke perguruan tinggi, sehingga mahasiswa baru tahun 2011-2012 hanya sekitar 4.8 juta orang.
Rendahnya jumlah mahasiswa baru di Indonesia ini dipengaruhi berbagai hal, diantaranya adalah biaya Pendidikan Tinggi yang semakin melambung sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.
Bukan tidak mungkin, di tahun-tahun yang akan datang, pertumbuhan mahasiswa baru di Indonesia semakin merosot tajam bila tidak adanya usaha sungguh-sungguh dari pemerintah sebagai pemegang amanat Undang-Undang dasar dan penyelenggara pendidikan untuk mengevaluasi sistem di Perguruan Tinggi.
Yang menjadi sorotan sekarang adalah bagaimana upaya pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan dan pengemban amanat Konstitusi untuk menyediakan Pendidikan Tinggi yang murah dan berkualitas jauh dari komersialisme pendidikan sehingga dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mememuhi Hak semua rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan.

Kajian Teori

Undang-Undang Pendidikan di Indonesia.
Amanat UUD 1945 tentang pendidikan dijabarkan pemerintah dengan membuat berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan pendidikan, diantaranya adalah:
(1)     Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(2)     Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen,
(3)     Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang kemudian dibatalkan oleh keputusan MK Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, yang membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi.
(4)     Undang-Undang RI  nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi, dan sebagainya.
      Begitu banyak payung hukum untuk penyelenggaraan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, namun yang menjadi isu dan meresahkan masyarakat serta harus segera dibenahi saat ini adalah Undang-undang RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
      Bila dikaitkan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan nasional, maka UU RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menciderai amanat Undang Undang Dasar 1945.
     
Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan
      Ditinjau dari terminologi bahasa, dalam kamus besar bahasa Indonesia, Komersialisasi berarti perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.
      Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa Pendidikan nasional di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam prakteknya di lapangan akhir-akhir ini, ideologi Pancasila tersebut bergeser pada paham Liberalisme, dimana menurut Sukarna dalam bukunya yang berjudul “Ideologi: suatu studi ilmu politik” yang diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme menjelaskan bahwa salah satu pokok ajaran Liberalisme menyebutkan bahwa Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara merupakan suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri, masyarakat pada dasarnya dianggap dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara baru melangkah bila usaha yang telah dilakukan oleh rakyat sebelumnya dianggap gagal.
      Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan seakan sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari pertumbuhan negara Indonesia akhir-akhir ini, dibuktikan dengan tingginya biaya untuk sekolah dan kuliah di perguruan tinggi yang melambung dan menjadikan belajar di Perguruan Tinggi bagi sebagian orang seolah seperti pungguk yang merindukan bulan.

METODE
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Dalam artikel ini penulis menggunakan telaah pustaka berupa undang-undang pembukaan UUD 1945 alinea 4, pasal 31 tentang Pendidikan, dan UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang digunakan sebagai acuan dalam mengkritisi UU nomer 12 tahun 2012 tentang Penddikan Tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS merupakan penjabaran dari pasal 31 UUD 1945 tentang penyelenggaraan pendidikan dan juga berisi rambu-rambu pelaksanaan Pendidikan Nasional yang dilakukan oleh pemerintah.
Keberadaan UU Perguruan Tinggi Nomer 12 tahun 2012 yang baru disahkan bila dilihat secara yuridis konstitusional bertentangan dengan UU SISDIKNAS nomer 20 tahun 2003. Dalam UU SISDIKNAS pasal 20 ayat 4 berbunyi “ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Jadi, seharusnya aturan-aturan atau penjelasan lebih lanjut mengenai Pendidikan Tinggi di Indonesia cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah saja, tanpa perlu dibuatkan Undang-undang lagi yang lain karena memicu terjadinya dualisme hukum dalam dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia.
Kehadiran UU PT tidak lepas dari keputusan pemerintah Indonesia menandatangani skema liberalisasi GATS (General Agreements on Trade in Services). Dalam ketentuan GATS ini, ada 7 sektor yang harus diliberalkan. Salah satunya adalah pendidikan nasional. Liberalisasi pendidikan pernah disetujui oleh DPR dan pemerintah dengan membuat UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), tetapi UU BHP tersebut digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ternyata pemerintah dan DPR tidak kehilangan akal, walaupun UU BHP telah dicancel oleh Mahkamah Konstitusi,  pemerintah dan DPR membuat UU Perguruan Tinggi no 12 tahun 2012 sebagai wujud lain dari UU BHP yang memuat tentang Liberalisasi pendidikan nasional.
Dikarenakan UU PT No. 12 merupakan wajah baru dari UU BHP maka unsur-unsur Liberalisasi yang ada di dalamnya memicu kontroversi masyarakat luas, beberapa pasal kontroversi dalam Undang-Undang ini tidak mencerminkan amanat dari UUD 1945 pasal 31 tentang arah dan tujuan Pendidikan Nasional.                      
Beberapa pasal dalam UU PT No. 12 tahun 2012 yang dianggap kontroversial dan harus segera dievaluasi karena menimbulkan dikotomis dan ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia diantaranya adalah :
(1)     pasal 65 tentang pelepasan peran Negara tentang PTN Badan Hukum (PTN BH).
(2)     pasal 76 ayat (2c) terdapat ketentuan tentang sistem student loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi.
(3)     pasal 90 tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga Negara lain.
Ketiga pasal di atas menunjukkan adanya komersialisasi, Liberalisasi dan Internasionalisasi yang mencederai UUD 1945 pasal 31 tentang Pendidikan Nasional.

Komersialisasi dalam Prespektif Liberalisasi Pendidikan
Pasal 65 ayat 1 UU PT No. 12 tahun 2012 berbunyi “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri pada PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN berbadan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu”.
Pasal tersebut di atas melegitimasi praktik Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sebagai konsekuensinya, terjadi pemisahan keuangan perguruan tinggi dari keuangan negara (otonomi non akademik). Negara tak lagi turut campur dalam kegiatan non akademik termasuk dalam pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi, hal ini merupakan salah satu ciri dari Liberalisasi, di mana masyarakat dianggap telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Di bawah ini merupakan nama Perguruan tinggi yang sudah berstatus Perguruan Tinggi BHMN, yaitu:
1.       Universitas Indonesia
2.       Universitas Gadjah Mada
3.       Institut Pertanian Bogor
4.       Universitas Sumatera Utara
5.       Universitas Airlangga
Bila Perguruan Tinggi yang termasuk dalam BHMN menjadi Perguruan Tinggi yang Independent, baik dari segi pengelolaan Akademik dan juga non Akademik, termasuk dalam hal ini masalah keuangan, maka yang terjadi adalah, Perguruan-Perguruan Tinggi BHMN harus memenuhi kebutuhan keuangannya secara mandiri terpisah dari keuangan pemerintah.
Hal ini menunjukkan pemerintah seolah lepas tanggung jawab akan pembiayaan pendidikan. Imbasnya adalah Perguruan Tinggi (PT) BHMN menaikkan biaya pendidikan yang dibebankan pada mahasiswanya sebagai sumber pembiayaan pendidikan di kampus, hal inilah yang memicu mahalnya biaya pendaftaran mahasiswa baru dan mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi saat ini.
Padahal dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
      Undang-Undang Dasar sudah mengamanatkan 20% dari APBN dan APBD adalah untuk penyelenggaraan pendidikan, dengan kata lain yang membiayai pendidikan adalah Negara, dalam hal ini pemerintah harus mengupayakan suatu sistem pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat. Mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas merupakan kewajiban negara, yang pada akhirnya nanti secara bertahap diharapkan Pendidikan Tinggi di Indonesia menjadi gratis.
      Di bawah ini adalah biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang termasuk dalam PT BHMN pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2012, yaitu:
Tabel 1. Biaya pendidikan TP di beberapa PT di Indonesia
NO
Nama PT
Biaya Pendidikan
Total
1
UI
a.      Uang Pangkal: Rp. 5jt, Rp.10 jt, dan Rp. 25 jt tergantung fakultas
b.     BOP (Biaya Operasional Pendidikan)
IPS : Rp. 100.000- Rp. 5jt
IPA : Rp. 100.000-Rp. 7.5 jt
c.     DPP (Dana Pelengkap Pendidikan)
Rp. 600.000
Rp 10. 600.000 s/d
Rp 33.100.000
2
ITB
a.     BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar di Muka)
Rp. 55 jt
b.    BPPS (Biaya Penyelenggaraan pendidikan Per semester)
Rp. 5 jt/semester
Rata-rata
·    Rp.27jt/thn
·    Rp 108 jt selama 4 tahun
3
ITS
a.     SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi)
Minimal Rp. 5 jt
b.    SPP per semester Rp. 1.8 jt
c.      Biaya penyelenggaraan informasi &pengenalan ITS Rp. 1.7 jt
Rata-rata
Rp. 8.500.000;
4
UGM
a.     SPP: Rp. 500.000/semester
b.    BOP, rata-rata Rp. 1.5 jt/ semester
c.     SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik)
·   SPMA 0: Rp 7 jt
·   SPMA 1 :Rp. 15 jt
·   SPMA 2 :Rp. 20jt
·   SPMA 3 :Rp. 40 jt
Rata-rata
Rp. 9jt – Rp. 60 jt
5
UNPAD
Dana Pengembangan
a.     Terendah  : Rp. 12 jt
b.    Tertinggi : Rp. 177 jt (kedokteran)
Rata-rata
Rp. 12jt -Rp. 177 jt
Sumber: http://www.padangkini.com

Dari tabel di atas dapat diketahui betapa mahalnya biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia, hal tersebut adalah dampak dari otonomi Perguruan Tinggi dari segi non akademik (keuangan) yang telah terpisah dari Negara, sehingga kampus dengan caranya sendiri-sendiri mematok harga yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan keuangan kampus.
Yang terjadi di lapangan adalah tidak semua anak bangsa bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi karena terkendala biaya. Pendidikan di perguruan Tinggi layaknya kebutuhan mewah yang hanya golongan masyarakat tertentu saja yang bisa menikmatinya.
Ini terlihat dari data BPS pada Februari 2011, jumlah orang Indonesia yang bekerja pada Februari 2011 sebanyak 111.3 juta orang dengan komposisi; (a) SD ke bawah : 55.1 juta (49.33%); (b) Diploma : 3.3 juta (2.98%); (c) Sarjana : 5.5 juta (4.99%). Terlihat dari total jumlah orang Indonesia yang bekerja, hanya 2,98% saja yang lulusan diploma dan 4,99% saja yang lulusan dari sarjana.
Dari semua data yang telah dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa mahalnya biaya pendidikan Perguruan Tinggi adalah dampak dari keputusan pemerintah untuk menandatangani GATS (General Agreements on Trade in Services) tentang  Liberalisasi Pendidikan Nasional, yang pada akhirnya Perguruan Tinggi terjebak dalam praktik komersialisasi ekonomi yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang terjangkau tidak terpenuhi, dan pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi harus bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap system Liberal pendidikan yang bertentangan dengan konstitusi ini.

Student Loan termasuk Komersialisasi Perguruan Tinggi

Dalam UU PT No. 12 tahun 2012 pasal 76 ayat 2c menyebutkan bahwa “pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan”.
Pasal di atas menjelaskan adanya sistem student loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini, di mata Koalisi Nasional Pendidikan, sangat  bertentangan dengan semangat tujuan bernegara Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (hak warganegara terhadap pendidikan), dan Kovenan Hak Ekosob (UU No. 11 Tahun 2005) pasal 13 ayat 2 C yang berbunyi pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap.
Student loan menciptakan iklim physikologi yang tidak baik bagi mahasiswa penerima bantuan ini, mahasiswa tidak bisa berkonsentrasi pada bidang ilmu yang dipelajarinya, mahasiswa akan resah apabila tidak bisa melunasi pinjamannya setelah lulus kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan sekalipun.
      UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu”. Pasal ini dapat diartikan bahwa setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya, termasuk para mahasiswa. Bantuan pemerintah yang diberikan pada mahasiswa kurang mampu tetapi berprestasi sebaiknya diberikan dalam bentuk beasiswa tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut.
      Adanya student loan juga menjadi bukti komersialisasi pendidikan terselubung yang dilakukan oleh pemerintah. Biaya pendidikan dianggap sebagai pinjaman yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa dan harus dikembalikan lagi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
      Bukankah juga sudah menjadi amanat konstitusi bahwa pemerintah berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya dengan memberikan reward berupa beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang berprestasi dalam bidang akademik, seni dan olah raga untuk meningkatkan prestasi mereka demi pendidikan nasional yang berkualitas, bukan malah mengajak mahasiswa untuk berdagang dan berprinsip ekonomi dengan memberikan pinjaman kepada mereka.                                                             
PENUTUP
Simpulan
Bila masalah Pendidikan Tinggi yang  terjangkau belum mendapatkan solusi yang nyata, maka bisa dipastikan bahwa rakyat akan semakin kehilangan haknya untuk mendapatkan Pendidikan Tinggi yang berkualitas dan murah, dampaknya dapat dilihat dari semakin merosotnya jumlah mahasiswa baru dari tahun ke tahun dikarenakan beaya pendidikan di Perguruan Tinggi semakin melambung.
Pendidikan dalam hal ini Perguruan Tinggi bukanlah barang yang seharusnya diperdagangkan atau dikomersilkan sebagai alat pengeruk uang dari masyarakat yang membutuhkan pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi hendaknya menjadi ujung tombak dalam usaha pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemisahan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara dari pemerintah dengan memberikan otonomi dalam bidang non akademik yang didalamnya termasuk masalah keuangan memberikan bukti bahwa pemerintah lepas tanggung jawab akan pembiayaan Perguruan Tinggi, sehingga beaya Perguruan Tinggi semakin mahal untuk masyarakat pada umumnya.
Salah satu bukti dari bentuk Komersialisasi Perguruan tinggi yang lain adalah adanya student loan bagi mahasiswa. Pemerintah menganggap beaya pendidikan yang diberikan adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Selain adanya unsur komersialisasi, student Loan juga berpengaruh negatif pada pshycology mahasiswa. Apapun itu namanya, yang disebut dengan pinjaman atau hutang adalah sesuatu yang berpengaruh langsung dengan kondisi kejiwaan si penerima hutang.
Komersialisasi pendidikan dalam bentuk adanya PT BHMN yang mempunyai otonomi non akademik berupa keuangan mandiri terpisah dari pemerintah dan pemberian student Loan kepada mahasiswa berawal dari penanda tanganan GATS (General Agreements on Trade in Services) oleh pemerintah tentang  Liberalisasi Pendidikan Nasional.
Komersialisasi Pendidikan yang Liberal membuat beaya pendidikan melambung, mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat, dengan kata lain hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi.

Saran    

Pendidikan di Perguruan Tinggi Indonesia saat ini terlalu Liberal dan menyebabkan praktik komersialisasi pendidikan yang sangat parah seharusnya menyadarkan pemerintah sebagai penyelenggara Pendidikan Nasional untuk segera mengambil langkah-langkah tepat dan strategis sebagai wujud dari evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Pemerintah harus segara kembali pada dasar dan ideologi pendidikan Nasional yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menghentikan praktek Liberalisme dan Komersialisme pendidikan.
Bila komersialisme pendidikan bisa ditekan, maka peluang untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi terbuka lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah untuk mendapatkan Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak setiap warga negara Indonesia?

DAFTAR PUSTAKA
Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981).

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 (2006), SISDIKNAS, Bandung, Citra Utama

Situs referensi:
PadangKini.com.http://www.padangkini.com/index.php?mod=berita&id=7072. Diunggah Senin, 28/05/2012, 2:11 WIB. Diunduh tanggal 28 Januari 2013 jam 22.18