(Sebuah renungan era disrupsi dan dampaknya bagi
dunia Literasi Indonesia)
Oleh Yulia Yusuf
Saat itu, sekitar 6 tahun yang
lalu, di sebuah kereta listrik yang membawa saya melaju ke arah Tokyo dari
Urawa-Saitama, ada pemandangan khas yang membuat saya tertegun dan takjub. Saat
itu kereta memang tengah rush hour
(sekitar jam 8 pagi) sangat penuh sesak dengan para penumpang. Tempat duduk di
kedua sisi kereta tidak muat lagi menampung penumpang yang terus bertambah di
setiap stasiun yang dilewati. Jangan berpikir bahwa kereta adalah barang langka
di negeri para samurai itu, hingga penumpang harus berebut dan rela berdesakan
di dalam kereta. Juga jangan dibayangkan bila rangkaian gerbongnya pendek dan
terangkai hanya beberapa saja seperti di Indonesia. Suatu saat saya akan
bercerita mengapa kereta di Jepang kerap kali penuh terutama di jam sibuk. Kali
ini yang saya soroti bukan bentuk dan fungsi kereta, melainkan aktivitas unik
para penumpang di dalamnya.
penuhnya stasiun saat Rush hour |
Perjalanan saya waktu itu ke Tokyo untuk mengunjungi
gedung pertunjukan Kabuki (sejenis kesenian Ludruk di Jawa Timur), karena
pertunjukan terikat oleh waktu, maka saya harus berangkat pagi-pagi agar tidak
terlambat sesuai jam pertunjukan. Saat kereta berhenti tepat di hadapan saya,
saat itu jarum Aigner putih di
pergelangan tangan menunjukkan pukul 8 pagi. Ujung ekor mata saya melirik cepat
ke jendela kereta, ada perasaan tidak nyaman melihat penuhnya orang yang
berdiri berdesakan di dalam. Tetapi karena saya enggan menunggu 8 menit lagi untuk
kedatangan kereta berikutnya, saya bersama dua orang teman berusaha merangsek
masuk. Khas wanita di manapun, saat berdesakan di tempat umum seperti ini, refleks tangan kananku menyilang di
depan dada, untuk melindungi “harta karun
kami”. Kereta melaju cepat dengan membawa penumpang berjejal di
masing-masing gerbong panjangnya. Tetapi jangan dibayangkan ada kegaduhan di
dalam kereta, atau ada orang yang berbicara sangat keras atau tertawa lepas. Bahkan
dering telfon pun tidak ada. Gerbong yang penuh sesak tetap sunyi, para manusia
yang berpakaian mayoritas hitam dan putih menunduk menekuri buku di tangannya
masing-masing. Kalaupun tidak membawa buku, mereka lebih memilih memejamkan
mata, entah tidur atau apa, yang jelas mereka tidak menimbulkan suara. Suasana yang
sungguh luar biasa batinku, saya membayangkan bila kereta itu melaju di rel
yang ada di Indonesia. Entah karena orang Indonesia yang kelewat ramah atau sok
kenal, pasti terjadi percakapan panjang yang seru diiringi gelak tawa keras dan
berderai.
Waktu berlalu tak terasa, tahun
lalu aku kembali menyusuri rel yang sama, kali ini perjalanan kembali dari
Tokyo ke asrama yang terdapat di Urawa. Perjalanan satu jam dengan kereta
listrik, cukup memberi saya waktu untuk mengamati manusia di sekeliling. Saat itu,
petang hari, kebetulan bersamaan dengan waktu rush hour pula. Pemandangan berbeda dari 6 tahun lalu tersaji di
depanku. Penumpang yang bergelayutan ataupun yang duduk tidak lagi terlihat
membawa buku di tangannya. Gerbong masih terasa sunyi walaupun sesungguhnya
penuh sesak. Di tangan mereka kini terdapat berbagai type i-phone yang menyala. Ya, HP populer di Jepang adalah i-Phone, mungkin karena buatan Amerika
dianggap lebih handal bagi orang Jepang, daripada HP Samsung misalnya yang
buatan Korea tetapi dirakit di Cina. Tidak perlu saya memanjangkan leher untuk mengintip
layar HP mereka. Posisi kulit saling menempel seperti itu, memudahkan untuk
melirik ke beberapa layar di sekitar.
Disrupsi di Jepang pada budaya membaca. Mereka tetap membaca di dalam kereta, tetapi tidak lagi membawa buku, melainkan digantikan oleh i-Phone lengkap dengan earphone masing-masing |
Dengan berbekal sedikit kemampuan membaca kanji yang
masih terbata-bata, saya bisa megetahui bahwa kebanyakan dari mereka membaca berita
di website, melihat prakiraan cuaca hari ini, membaca hasil pertandingan yakyuu (kasti Jepang) dan beberapa
artikel ringan lainnya. Sementara di layar HP anak-anak muda terlihat manga (komik digital) atau anime yang
tentu saja suaranya mereka redam menggunakan earphone yang menyumpali telinga masing-masing. Jari-jari mereka
lincah mengusap layar untuk berpindah halaman. Semuanya mereka lakukan dalam
diam dan tidak menimbulkan gerakan yang berlebihan.
Inilah
bukti nyata telah terjadi disrupsi di
Jepang. Buku-buku yang dahulu selalu ada di dalam tas orang Jepang untuk
menemani mereka ke mana-mana telah tergantikan dengan sebuah kotak persegi yang
menyala. Dalam jangka 6 tahun telah terjadi pergeseran budaya yang sangat
mencolok. Budaya Tachiyomi (membaca
sambil berdiri) masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi masyarakat
Jepang, tetapi era digital dan pertumbuhan teknologi sudah menggeser buku
dengan bacaan-bacaan digital yang lebih praktis. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana situasi
dalam kereta di Jepang saat Rush hour
5 tahun yang akan datang, saat saya kembali ke sana kelak. Mungkin gedget kotak sudah menjadi barang kuno
dan digantikan oleh chips-chips tipis
nan canggih yang tertanam langsung di kacamata atau tangan manusia. Siapa tahu
bukan.
Mungkin di Indonesia belum
seekstrem yang terjadi di Jepang, tetapi tanda-tanda ke arah gadget minded sudah terlihat di sekitar
kita. Bila dulu menginginkan membaca buku yang berbeda, maka kita harus membawa
lebih dari sebuah buku yang tentu saja sangat berat. Tetapi saat ini,
digitalisasi memudahkan peradaban manusia. Berbagai artikel dari berbagai buku
yang berbeda dapat kita dapatkan hanya lewat satu klik saja.
Dunia
saat ini memasuki era revolusi industri 4.0 disruptive
innovation, menekankan pada aspek digital ecomony, artificial intelligence, big data, robotic dan sebagainya.
Dengan kata lain saat ini adalah era pergantian wujud fisik menuju virtualisasi
berbasis networking. Bila difokuskan pada pembahasan tentang dunia literasi di
era revolusi industri 4.0 maka literasi tidak bisa diartikan secara sempit yaitu
membaca buku fisik tebal yang berisi ratusan lembar atau duduk manis di
perpustakaan sampai tertidur pulas.
Literasi generasi milenial harus
difasilitasi sesuatu yang disukai dan menjadi trend di kalangan mereka. Bagi
generasi milenial, buku berlembar-lembar itu dianggap barang jadul yang
membosankan. Bagi generasi Y atau gen Y gedget
lebih menarik daripada buku. Sementara para penulis yang aktif saat ini adalah
generasi X atau gen X yang masih berada di zona nyaman dengan setumpuk
referensi buku fisik yang berjajar rapi di perpustakaan kecil rumahnya.
Sudah waktunya para penulis untuk keluar dari “kotaknya”
masing-masing. Melongok ke luar dan menghadapi kenyataan bahwa dunia telah
mengalami disrupsi besar-besaran. Budaya
membaca merupakan bagian dari kebudayaan yang akan selalu ada sampai kapanpun. Tetapi
memang harus diakui bahwa media untuk mewujudkan sumber-sumber bacaan sudah
harus diganti. Para penulis generasi X akan perlahan ditinggalkan bila tetap
bersikukuh dengan metode bahuela-nya,
buku dan pena. Kecepatan, keakuratan dan kemudahan mendapatkan berita adalah
hal penting yang harus menjadi pertimbangan para penulis saat ini.
Seiring
dengan perkembangan teknologi dan informasi, banyak sekali media online, blog
dan berbagai platform online baru yang bisa dimanfaatkan oleh para penulis.
Menjamurnya media elektronik sesungguhnya bukanlah ancaman bagi penulis,
situasi ini malah menguntungkan penulis karena banyak sekali fasilitas yang
disediakan untuk mencari referensi, data, kecepatan sharing berita, upload
hasil pikiran dan lebih mendekatkan dengan para penikmat tulisan kita.
Sudah
banyak penulis dari generasi X yang telah bermigrasi dan keluar dari zaman bahuela-nya, misalnya saja penulis serta
wartawan senior kita, Dahlan Iskan. Dahulu dia dikenal aktif menulis di kolom
koran Jawa Post, saat ini dia mempunyai blog pribadi aktif yang dijejali banyak
penikmat tulisannya. Sebut saja DI’Way,
Jpnn, tweeter pribadi dan @dahlaniskan19
yang merupakan akun Instagram resmi miliknya dengan puluhan ribu follower-nya. Semua media elektronik
tersebut digunakan oleh sang maestro secara produktif, menulis dan memposting
tulisannya. Hasilnya luar biasa, tulisan-tulisan tersebut dalam waktu singkat
bisa ditanggapi langsung oleh para pembacanya. Dahlan iskan adalah satu dari
penulis generasi X yang bisa bertransformasi dan tetap diterima oleh para
milenial.
catatan harian digital Dahlan Iskan. DI'S Way. Dahlan Iskan adalah satu dari penulis gen X yang dapat bertransformasi dan diterima oleh para pembaca gen Y |
Penulis
saat ini sesungguhnya malah dimanjakan dengan berbagai fasilitas mudah untuk
mendapatkan uang secara instan. Menjamurnya platform
news dan wiki berbasis citizen
journalism menjadikan penulis lebih produktif . Platform news tersebut diantaranya adalah Doripos, Plukme,
Kompasiana dan sebagainya. Tidak hanya Platform
news yang tengah tumbuh subur, aplikasi sosial media untuk karya sastra
juga tersedia luas, sebut saja Wattpad, webtoon, E-novel, Cabaca, Google play
book, Novel plus, MangaToon dan sebagainya adalah media berbasis internet yang
bisa dimanfaatkan dan dieksplore secara
luas oleh para author atau penulis. Bahkan
beberapa aplikasi menyediakan interaksi langsung antara author dan pembacanya.
Akses internet yang dapat diakses secara global menjadikan pasar pembaca tidak
terbatas hanya masyarakat lokal tetapi juga bisa ‘dinikmati’ dunia.
Dengan menjadi penulis aktif di
website dan aplikasi sosial media ini nama penulis akan dikenal masyarakat
luas, disamping tentu saja ada benefit yang akan didapatkan. Semakin banyak
artikel yang ditulis maka semakin besarlah pundi-pundi uang yang terkumpul. Tidak
hanya itu, dengan menjadi anggota dari website-website kepenulisan akan membuat
karya penulis semakin matang dan bagus. Bagaimana tidak, bila tulisan-tulisan
yang diposting harus bisa menarik dan citizen
journalism bisa langsung memberikan like
ataupun kritik secara langsung. Hal ini tentu saja akan membuat penulis menyajikan
karya terbaiknya.
Generasi
Y yang sudah akrab dengan gedget dan
dunia maya tentu tidak menyukai hal monoton karena membosankan. Mereka lebih
tertarik pada artikel yang dapat menyajikan gambar-gambar bewarna yang
memanjakan otak reptilnya. Tentu saja keuntungan penggunaan media elektronik
seperti ini sulit diwujudkan oleh dunia kepenulisan paper dan pena. Adanya biaya cetak yang mahal, menjadikan artikel,
buku dan sebagainya mempunyai keterbatasan biaya cetak. Kalaupun terdapat
gambar, maka tidak bisa colourfull
dan terbatas jumlahnya. Jujur saja menjadi penulis saat ini dituntut untuk ‘melek teknologi’, kreatif dan inovatif
dengan karya-karyanya bila tidak ingin ditinggalkan pembaca dan tenggelam dalam
arus disrupsi.
Mencetak
dan menerbitkan sebuah buku fisik adalah penting sebagai bukti otentik sebuah
karya telah lahir. Tetapi, menerbitkannya dan memposting di media maya tidak
kalah pentingnya agar jangkauan pembaca semakin luas dan nama penulis semakin
dikenal. Pertanyaannya saat ini adalah siapkah para penulis untuk segera
bermigrasi dan keluar dari zona nyamannya selama ini?. Pertanyaan tersebut
tentu saja hanya dapat dijawab oleh sang penulis sendiri.
ikan Salmon yang tidak takut menantang arus https://www.google.com/search |
Menurut
pakar mindset, Farouk Amsyari dalam http://furqometer.wordpress.com ,
hidup ini sesuangguhnya seperti aliran sungai, jangan menjadi daun yang hanyut
oleh arus, jangan menjadi batu yang keras kepala tidak mau bergeser dari zona
nyaman, tetapi jadilah seperti ikan yang bisa fleksibel berenang mengikuti
arus. Ikan tidak pernah hanyut dalam aliran sungai bukan, bahkan ikan kadang menentang
arus untuk mempertahankan hidupnya. Pun begitu juga dengan penulis,
kehidupannya bisa diibaratkan ikan yang berenang di lautan disrupsi teknologi yang luas, kadang mengikuti arus, kadang pula
harus membuat gebrakan dengan tulisan-tulisannya yang dapat mempengaruhi jutaan
manusia dalam waktu singkat. Era disrupsi
seperti saat ini bukanlah ancaman bagi penulis, malah era yang memberi
kemudahan dan kesempatan luas bagi penulis untuk mengembangkan dirinya lebih
baik lagi.
_Salam Takdim_
Liaiko