Tuesday, July 30, 2019

DATANG DIAM-DIAM PERGI TANPA PESAN

(Catatan Perjalanan KOPDAR ke III. SPK. Semarang)

"seperti angin, keberadaanya tak terlihat, tapi jelas ada"
Btw,...Thank you mister Emcho.  nice pic
Peluit panjang masinis memekakkan telinga saat kereta yang saya tumpangi merapat di stasiun Tawang Semarang. Saya lirik jendela, para penumpang berebut turun dan disambut banyak portir yang menawarkan jasa mengangkut koper. Saya hanya tersenyum saat portir-portir dengan wajah kuyu itu menawarkan membawa koper kecilku. Bukannya saya pelit tidak memberi mereka pekerjaan, saya merasa wanita muda dengan tenaga yang berlebih untuk sekedar menjinjing koper kecil bewarna pink bergambar Hello kitty.

Pandanganku terlempar jauh menerobos ke luar stasiun, menelisik setiap sudut kota seraya menjerit kecil. “Well, Semarang, I’m coming, so...???”, tiba-tiba hormon kortisol seolah teraduk dengan serotinin dan berlimpah di dalam tubuh membuat saya sangat excited tidak sabar untuk segera mengeksplore kota ini.

            Begitu ada info Kopdar, seminar dan launching buku SPK diadakan di Unnes Semarang, otak nakal saya langsung berputar cepat. Sederet planning sudah antri menyesaki kepala. Simpang lima, Kota Tua, Lawang Sewu, lalu apalagi?, oh ya, nasi liwet dan tentu saja lumpia juga harus saya rasakan. Tapi sempat ada tarik ulur dalam hati saya, berangkat atau tidak ke Semarang. Saya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memutuskan untuk hadir atau tidak di acara SPK.   
  
Tiba di Unnes sekitar pukul 13.00, dengan tetap menjinjing koper hello kitty pink, saya melangkah menuju lantai 4 tempat acara berlangsung. Saya sengaja tidak langsung memasuki ruangan, saya ke toilet terlebih dahulu untuk merapikan diri. Perjalanan jauh dari Surabaya tanpa jeda membuat baju saya berantakan. Di Toilet, lama saya pagut bayangan di depan cermin, saya ragu. Tadi di luar, saya sempat melihat mayoritas peserta seminar perempuan memakai gamis syar’i lebar nan syariah, sementara saya?. Oh, No!

Seperti Kopdar di Tulungagung dulu, saya sendiri yang memakai jeans belel, kemeja katun longgar dan tanpa kaos kaki. Kali ini saya berkaos kaki sih, tapi sekedar agar tidak dingin saat di dalam kereta saja. Baju saya inilah yang membuat saya tidak percaya diri. Saya yakin teman-teman SPK tidak mempermasalahkan masalah pakaian, tetapi saya sendiri yang jadi sungkan dengan penampilan saya. Berkecamuk dalam pikiran, jadi masuk atau tidak ke ruangan. Tetapi sesaat kemudian saya bulatkan tekad, jauh-jauh saya datang ke Semarang untuk SPK, jadi saya harus masuk!, "Masuk saja, toh tidak ada yang mengetahui kehadiranku", batin saya.

Ya, saya anggota baru SPK, bukan anggota yang menonjol dengan banyak tulisan elegan tentang pendidikan atau agama. Saya juga tidak memiliki pekerjaan dan gelar yang bisa saya banggakan. Saya hanya Ibu rumah tangga biasa yang tersesat di dunia aksara ini. Jadi siapa yang peduli dengan pakaian saya, kecuali,....                                      
 "Lho, bu Yulia datang ya. Koq buru-buru pulang bu, tidak menginap”, mati aku batinku. 
Pak Ngainun tiba-tiba memanggil namaku dengan sangat jelas.                                           
“oh mengapa pak Ngainun tahu namaku” batinku resah.                                                  
injih bapak, maaf tidak bisa ikut Kopdar karena ada keperluan lain” jawabku cepat dan buru-buru berlalu. (Ngapunten pak Ngainun, saya malu sekali waktu itu)

Juga saat bertemu dengan salah satu bintang SPK lainnya, mister Emcho, saya sangat excited ingin berswa foto dengan beliau, hingga saya lupa dengan jeans yang saya kenakan dan asik saja berfoto dengan dosen idola saya saat S1 dulu. Keinginan untuk berfoto dengan mister Emcho sudah terpendam sejak lama, waktu di Tulungagung tidak kesampaian karena mister Emcho kelewat populer, hingga sepertinya tidak ada waktu sela untuk berswafoto dengan beliau. Tapi ternyata foto diam-diam kami menjadi viral di grup whatsapp SPK. (Ngapunten juga untuk mister Emcho, gara-gara permintaan saya kami sempat jadi tanding topic di grup)

Jadi fix, hanya tiga orang saja yang tahu kehadiran saya di Unnes kemarin, Pak Ketua, Pak Ngainun dan Mister Emcho. Seperti angin, tak terlihat tapi ada, mungkin seperti itulah gambaran yang pas untuk kehadiran saya di Seminar SPK kemarin. 

Sejak awal niat utama dari rumah adalah “tholabul ‘ilmi”, ingin mendapatkan “charge” energi dari para master dunia literasi. Saat memasuki ruangan, deretan depan yang ada mejanya sudah terisi penuh, akhirnya saya duduk di belakang, untung kaca mata saya tidak tertinggal, bila tertinggal, entahlah mungkin wajah para master menjadi blur seperti kamera HP yang kehilangan auto focusnya.

Semua materi yang disampaikan para pembicara saya tulis tangan, tentu saja dengan kecepatan menulis yang tidak lumrah. Sebenarnya sudah ada file materi yang dishare di grup, tapi sudah menjadi kebiasaan saya untuk menulis materi bila “guru” menjelaskan di depan sana. Ya, para narasumber, mister Emcho, mas Haidar musyafa dan lainnya adalah guru bagi saya. Jadi saat mereka menjelaskan sesuatu, saya harus menulisnya agar saya tetap fokus selama materi dan bisa saya baca lagi di rumah nanti. 

Para pemateri tidak hanya berbagi ilmu dan pengalamannya saja, tetapi juga mensuport dan menginspirasi kami. Walaupun jujur saja, menulis hanya sekedar hobi, tetapi saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan SPK. Saya jadi tahu bagaimana menulis yang benar, bagaimana mengungkapkan ide dan pikiran yang bijak dan bagaimana standar sikap yang harus dimiliki seorang penulis.

Hal lain yang membuat saya bangga adalah saat melihat secara langsung buku Antologi tulisan saya dan anggota SPK yang lain di launching di acara resmi seperti itu. Bulu kuduk saya meremang dan terharu saat tahu tulisan saya terpilih sebagai epilog. Seperti kehadiran saya, tidak ada seorangpun yang tahu air mata saya sempat menetes di acara launching buku yang bertajuk "Literasi di Era Disruipsi". Terima kasih SPK, terima kasih atas kesempatan luar biasa yang diberikan pada saya untuk bisa merasakan tulisan saya bersanding dengan tulisan-tulisan tingkat dewa para master dunia Literasi. Pengalaman luar biasa yang tidak akan saya lupakan.

Suatu saat, saya pasti akan ikut acara sahabat-sahabat SPK secara utuh, saya tidak akan datang secara diam-diam lagi atau menghilang tanpa pesan. Bukannya saya dengan sengaja berniat tidak ikut Kopdar, tetapi memang ada kesalahan sejak awal memahami rountdown acara, sehingga saya sudah terlanjur mempunyai planning lain setelah seminar.

Berpetualang sendiri di kota Semarang adalah impian sejak lama. Ya, sendiri dan benar-benar sendiri. Bahkan saat saya check in hotel, petugas resepsionis menanyakan sampai 3x apakah saya benar-benar sendiri. Karena jengkel saya balik bertanya, “apakah ada aturan bahwa saya tidak boleh membooking kamar Luxery room sendirian?”saya balik bertanya dan si resepsionis menggeleng, tersenyum ramah sambil memberikan kunci kamar yang saya pesan. 

Mengapa banyak orang yang sulit percaya bila saya benar-benar sendirian di suatu kota.  Apa karena saya perempuan sehingga tidak pantas keluyuran sendirian?. Toh saya juga tidak melakukan hal-hal buruk lainnya. Well,... ayolah!, saat ini dunia tengah sibuk berpacu dengan industri 4.0, apakah kita masih terperangkap pada dikotomi laki-laki pantas dan perempuan tidak?. 

Sendirian jalan-jalan di Semarang bukan pengalaman pertama saya, sebelumnya pernah juga saya lakukan di beberapa kota lainnya. Kenapa harus takut?, toh saya sudah mengantongi izin dari suami. Bagi saya, ridho suami adalah ridho Alloh. Saya tidak takut berpetualang sendiri, ada Alloh yang menjaga saya. Jangankan di Semarang. Di Jakarta dan Tokyo pun saya berkali-kali sendirian dan alhamdulillah, sejauh ini tidak ada masalah.

Sabtu malam, saya mengeksplore kota Semarang. Mulai dari kuil Sam Po Kong, Kota tua dan saya tutup dengan menikmati nasi liwet dan teh panas di Simpang Lima yang terkenal. Seperti kehadiran saya yang diam-diam saat seminar di Unnes, kali ini juga tidak ada yang mengenal saya. Sehingga juga tidak ada yang tahu bila saya berkeliling kota hanya menggunakan baby doll di balik jaket bomber tipis saya... hehehe,..

“Far from home, alone”, mirip judul film Hollywood squel Spidermen yang baru rilis ya. Pertanyaannya, apakah anda pernah merasakannya, Far from Home, alone?Sekali-kali cobalah, benar-benar sendirian tanpa satu orangpun yang mengenal anda, menikmati malam, menikmati riuhnya kota dan menikmati nasi liwet akan membuat anda lupa pada semua masalah. Kadang kita harus sejenak lari dari rutinitas bukan, melakukan hal-hal yang selama ini hanya ada dalam mimpi, keluar dari zona nyaman dan mewujudkan petualan-petualangan yang menantang adrenalin akan membuat “hidup” lebih hidup dari sebelumnya.

Dan sebagai orang yang hobi menulis, saya selalu mengabadikan petualangan saya dalam sebuah catatan perjalanan ringan. Saya posting tulisan itu di blog atau platform lainnya, tidak peduli orang mau membacanya atau tidak. Saya hanya ingin meninggalkan “jejak” pada semua bumi Alloh yang pernah saya singgahi sewaktu saya muda dan kuat. Suatu saat kelak, saat saya renta dan hanya bisa duduk diam di atas kursi ayunan, pasti saya akan tersenyum membaca semua “jejak” yang pernah saya tinggalkan ini.
Bagi saya, jangan ngaku penulis bila belum pernah menulis tentang perjalanan kita,...  Berarti “dolanmu kurang adoh cah-cah,..... hehhhe,...

Oh ya,....ini ada sedikit oleh-oleh dari Semarang yang sempat saya bawa pulang. Sepenggal puisi yang saya tulis di pojok Simpang Lima, di bawah papan nama persimpangan jalan sambil menunggu babang Go-jek menjemput. Dan puisi satunya saya tulis di bawah pohon beringin besar di tengah Lawang Sewu sambil menikmati semilir angin dan merdunya penyanyi jalanan yang membawakan langgam-langgam Jawa yang mendayu merdu. 

Senja memeluk malam dalam keheningan
Lepaskan jingga dalam dekapan
Terucap janji esok kan datang lagi
Mencari Dayta dalam gemerlap Kejora
Lihat!,.... Nabastala kelam tanpa bintang
Luruh sendiri dalam penantian

(Simpang Lima, 27 Juli’19. 22.48 WIB)

Kama, kama, kama
Menira puja sekar Palapa
Arumi pupus retisalya asmaraloka
Kama, kama, kama,...
bersama dupa aku kirimkan puja
pada Nirwana pemilik semesta tak bercela
Anindita

(Lawang Sewu, 28 Juli ’19. 11.00 WIB)

 _Yulia yusuf_
(Pernikmat Sastra)

Wednesday, July 24, 2019

MELEMPAR “SETAN GEPENG” WUJUD LEMPAR JUMRAH DI ERA MILENIAL


"Maaf ya guys,... foto n content ga nyambung,... hehhehehe...."
            Matahari belum terlalu condong ke barat, angin semilir seakan membelai hati bersamaan dengan suara alunan kalimat talbiyah yang mengalun sendu dilantunkan para tamu undangan. Semua orang terlihat khusuk saat kakiku melangkah memasuki pelataran rumah seorang teman yang tengah mengadakan walimatul syafar sore itu. Undangan yang lazim disebar untuk meminta doa keselamatan bagi teman, keluarga atau kerabat yang akan melakukan ibadah haji.
            Pernah terbersit di pikiranku bahwa sebenarnya para tamu Alloh itu tidak memerlukan doa dari kami semua. Bukankah do’a para tamu Alloh pasti terijabah, apalagi dipanjatkan di tanah haram Mekkah dan Madinah. Namun, bukan hanya sebatas ritual minta didoakan oleh kerabat, walimatul Safar lebih pada permohonan untuk melakukan silaturrahmi dan meminta maaf pada semua orang.
            Saya tidak bisa bercerita tentang perasaan saat menunaikan rukun Islam ke lima ini, karena saya belum pernah melaksanakannya. Yang saya tahu ya sebatas cerita dari teman yang telah berhaji atau dari buku-buku agama yang pernah saya baca. Jadi sangat naif bila saya menceritakan cara dan berbagai rangkaian ritual haji. Juga akan sangat membosankan bila saya bercerita sejarah tentang ihwal asal-usul ibadah haji karena anak SD pun sudah mengetahui kisah tersebut dari gurunya.
            Semua orang mengetahuia bahwa ibadah haji merupakan satu rangkaian dengan ibadah Qurban yang berasal dari cerita nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Bagaimana Alloh mengabadikan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an dan menjaganya hingga saat ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Masing-masing ritual ibadah haji memiliki makna yang dapat diteladani dan masih relevan hingga saat ini. Tetapi ada satu ritual yang sejak dulu menggelitik perasaan saya, yaitu lempar Jumrah.
            Saat saya masih remaja, pernah timbul pertanyaan liar di dalam otak saya bahwa ritual melempar kerikil ke 3 tiang yang berdekatan itu hanyalah sesuatu yang sia-sia, mengapa demikian. Karena logikanya bila melempar jumrah adalah simbol melempari setan dengan batu kerikil, maka jelas setan manapun tidak akan lari ketakutan. Melempar menggunakan batu segede gaban saja setan tidak akan lari, apalagi hanya dengan kerikil kecil. Pemikiran logika saya yang keblabasan pun semakin liar, yaitu bila dilihat dari asal penciptaan setan dari api, maka mestinya yang di lempar saat Jumrah, bukan menggunakan kerikil, melainkan menggunakan air, karena musuh abadi dari api adalah air. Mungkin bila dilempar dengan air setan tidak hanya lari, tetapi sekalian “wuss” mati. Hehhehe,...
            Logika keblabasan yang saya ungkapkan tersebut pasti juga pernah dirasakan oleh sebagian sahabat muslim lainnya. Hati-hati saudaraku, logika kebablasan tersebut bisa mendekatkan diri kita pada kekufuran.  Mengapa demikian, tidak semua perintah Tuhan perlu dilogika, walaupun sangat banyak perintah Tuhan yang dapat dibuktikan dengan keilmuan. Kembali pada pembahasan ritual haji yang menarik pikiran saya sejak remaja yaitu lempar Jumrah juga tidak bisa bisa dijelaskan hanya dengan logika semata. Tetapi perlu kacamata ketaatan yang dibingkai dalam keimanan yang ada di dalam hati kita. Bukankah hati manusia merupakan pusat perenungan dan perasaan, muara dari logika yang ada dalam akal manusia.
            Lempar Jumrah adalah simbol perlawanan manusia pada setan. Yang namanya simbol ya hanya sebagai penanda, bukan wujud asli setan ada dalam tiang-tiang tersebut. Setan tidak akan merasakan kesakitan atas kontak fisik tubuhnya dengan batu, tetapi mereka merasa kesakitan melihat manusia (baca: hamba Alloh) yang percaya, beriman, tunduk, patuh dan ingat pada Alloh ta’ala. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
                                 إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه
Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
            Pada saat melempar batu, ja’maah haji seraya bertakbir mengagungkan Alloh. Ucapan takbir adalah pengakuan mutlak manusia atas kebesaran Alloh di seluruh jagat, tidak ada Dzat melebihi kesempurnaan Alloh. Inilah sesuangguhnya yang sangat menyakitkan bagi setan dan teman-temannya. Mereka sangat terhina karena manusia begitu mengagungkan Alloh. Jadi stop untuk berpikir bahwa melempar jumrah tidak masuk dalam logika manusia dan sia-sia belaka. Jangan-jangan pikiran liar kita tersebut juga bagian dari bisik rayu setan yang membuat hati kita ragu-ragu. Nah lho,...
            Lempar jumrah berawal dari kisah nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, bujuk rayu setan untuk mempengaruhi manusia bisa melalui apa saja, termasuk diungkapkan secara langsung oleh orang-orang terdekat. Saat ini setelah 4000 tahun berlalu, rupanya setan juga memasuki era milenial. Mereka tidak mau kalah atas modernisasi manusia. Bujuk rayu setan CS pada manusia juga ikut menyesuaikan zaman. Bila saat ini manusia memasuki era industri 4.0 yang hampir pada semua kehidupannya dilakukan dengan digital, maka setan juga memanfaatkan digitalisasi ini untuk mempengaruhi manusia. Mungkin kita tidak menyadari bahwa “setan gepeng” saat ini mengikuti kita ke mana saja. Ya, setan di era milenial ini tidak lagi berwujud menyeramkan dengan dua tanduk di kepalanya atau mata besar yang melotot tajam dengan dua taring yang runcing, tetapi setan milenial lebih berwujud anggun dan berkelas. Gadget kita adalah setan dalam wujud lainnya.
            Kita bisa melalaikan waktu sholat karena terlalu lama stalking di dunia maya atau hati anda tersusupi riya’, pamer atas harta, pekerjaan dengan memposting di berbagai medsos dengan tujuan untuk dipuji orang lain. Atau kita tidak merasa telah ghibah dengan ikut berkomentar di akun-akun gosip?. Tidakkah kita juga mendapatkan dosa pemfitnah bila tanpa sadar menyebarkan berita hoax akan sesuatu. Kita juga bisa terumbar syahwat dan birahi saat dengan mudahnya mensearching kontent porno di internet dan banyak lagi keburukan yang membawa dosa bila kita tidak bijak menggunakan gedget kita.
Jadi, bujuk rayu setan hari ini ternyata lebih dahsyat dari bujuk rayu setan 4000 tahun yang lalu bukan?. Luar biasa sekali ternyata metamorfosis setan untuk menyesatkan manusia.
            Kalau nabi Ibrahim, ibu Hajar dan Ismail dengan senang hati dan sangat bersemangat melempari setan agar tidak mengganggu keimanannya dan diabadikan Alloh dalam hikmah melempar Jumrah saat ibadah haji, apakah saat ini kita juga mampu melemparkan “setan gepeng” yang kita timang-timang setiap hari itu jauh-jauh dari hidup kita?.
Kalau perlu jangan hanya dilempar “setan gepengnya”, siram air sekalian agar “setan”nya “mati” dan tidak mengganggu ibadah kita lagi. Kalau anda siap melempar gedget, saya siap menerimanya,... hehehhe,...

Wallohu’alam bisshowaf
Yulia Yusuf