Friday, March 1, 2019

PENULIS GEN X vs NETIZEN GEN Y


(Sebuah renungan era disrupsi dan dampaknya bagi dunia Literasi Indonesia)
Oleh Yulia Yusuf


Saat itu, sekitar 6 tahun yang lalu, di sebuah kereta listrik yang membawa saya melaju ke arah Tokyo dari Urawa-Saitama, ada pemandangan khas yang membuat saya tertegun dan takjub. Saat itu kereta memang tengah rush hour (sekitar jam 8 pagi) sangat penuh sesak dengan para penumpang. Tempat duduk di kedua sisi kereta tidak muat lagi menampung penumpang yang terus bertambah di setiap stasiun yang dilewati. Jangan berpikir bahwa kereta adalah barang langka di negeri para samurai itu, hingga penumpang harus berebut dan rela berdesakan di dalam kereta. Juga jangan dibayangkan bila rangkaian gerbongnya pendek dan terangkai hanya beberapa saja seperti di Indonesia. Suatu saat saya akan bercerita mengapa kereta di Jepang kerap kali penuh terutama di jam sibuk. Kali ini yang saya soroti bukan bentuk dan fungsi kereta, melainkan aktivitas unik para penumpang di dalamnya.

penuhnya stasiun saat Rush hour
             Perjalanan saya waktu itu ke Tokyo untuk mengunjungi gedung pertunjukan Kabuki (sejenis kesenian Ludruk di Jawa Timur), karena pertunjukan terikat oleh waktu, maka saya harus berangkat pagi-pagi agar tidak terlambat sesuai jam pertunjukan. Saat kereta berhenti tepat di hadapan saya, saat itu jarum Aigner putih di pergelangan tangan menunjukkan pukul 8 pagi. Ujung ekor mata saya melirik cepat ke jendela kereta, ada perasaan tidak nyaman melihat penuhnya orang yang berdiri berdesakan di dalam. Tetapi karena saya enggan menunggu 8 menit lagi untuk kedatangan kereta berikutnya, saya bersama dua orang teman berusaha merangsek masuk. Khas wanita di manapun, saat berdesakan di tempat umum seperti ini, refleks tangan kananku menyilang di depan dada, untuk melindungi “harta karun kami”. Kereta melaju cepat dengan membawa penumpang berjejal di masing-masing gerbong panjangnya. Tetapi jangan dibayangkan ada kegaduhan di dalam kereta, atau ada orang yang berbicara sangat keras atau tertawa lepas. Bahkan dering telfon pun tidak ada. Gerbong yang penuh sesak tetap sunyi, para manusia yang berpakaian mayoritas hitam dan putih menunduk menekuri buku di tangannya masing-masing. Kalaupun tidak membawa buku, mereka lebih memilih memejamkan mata, entah tidur atau apa, yang jelas mereka tidak menimbulkan suara. Suasana yang sungguh luar biasa batinku, saya membayangkan bila kereta itu melaju di rel yang ada di Indonesia. Entah karena orang Indonesia yang kelewat ramah atau sok kenal, pasti terjadi percakapan panjang yang seru diiringi gelak tawa keras dan berderai.      

           Waktu berlalu tak terasa, tahun lalu aku kembali menyusuri rel yang sama, kali ini perjalanan kembali dari Tokyo ke asrama yang terdapat di Urawa. Perjalanan satu jam dengan kereta listrik, cukup memberi saya waktu untuk mengamati manusia di sekeliling. Saat itu, petang hari, kebetulan bersamaan dengan waktu rush hour pula. Pemandangan berbeda dari 6 tahun lalu tersaji di depanku. Penumpang yang bergelayutan ataupun yang duduk tidak lagi terlihat membawa buku di tangannya. Gerbong masih terasa sunyi walaupun sesungguhnya penuh sesak. Di tangan mereka kini terdapat berbagai type i-phone yang menyala. Ya, HP populer di Jepang adalah i-Phone, mungkin karena buatan Amerika dianggap lebih handal bagi orang Jepang, daripada HP Samsung misalnya yang buatan Korea tetapi dirakit di Cina. Tidak perlu saya memanjangkan leher untuk mengintip layar HP mereka. Posisi kulit saling menempel seperti itu, memudahkan untuk melirik ke beberapa layar di sekitar. 
Disrupsi di Jepang pada budaya membaca. Mereka tetap membaca di dalam kereta, tetapi tidak lagi membawa buku, melainkan digantikan oleh i-Phone lengkap dengan earphone masing-masing

      Dengan berbekal sedikit kemampuan membaca kanji yang masih terbata-bata, saya bisa megetahui bahwa kebanyakan dari mereka membaca berita di website, melihat prakiraan cuaca hari ini, membaca hasil pertandingan yakyuu (kasti Jepang) dan beberapa artikel ringan lainnya. Sementara di layar HP anak-anak muda terlihat manga (komik digital) atau anime yang tentu saja suaranya mereka redam menggunakan earphone yang menyumpali telinga masing-masing. Jari-jari mereka lincah mengusap layar untuk berpindah halaman. Semuanya mereka lakukan dalam diam dan tidak menimbulkan gerakan yang berlebihan.


            Inilah bukti nyata telah terjadi disrupsi di Jepang. Buku-buku yang dahulu selalu ada di dalam tas orang Jepang untuk menemani mereka ke mana-mana telah tergantikan dengan sebuah kotak persegi yang menyala. Dalam jangka 6 tahun telah terjadi pergeseran budaya yang sangat mencolok. Budaya Tachiyomi (membaca sambil berdiri) masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Jepang, tetapi era digital dan pertumbuhan teknologi sudah menggeser buku dengan bacaan-bacaan digital yang lebih praktis.  Saya tidak bisa membayangkan bagaimana situasi dalam kereta di Jepang saat Rush hour 5 tahun yang akan datang, saat saya kembali ke sana kelak. Mungkin gedget kotak sudah menjadi barang kuno dan digantikan oleh chips-chips tipis nan canggih yang tertanam langsung di kacamata atau tangan manusia. Siapa tahu bukan.

Mungkin di Indonesia belum seekstrem yang terjadi di Jepang, tetapi tanda-tanda ke arah gadget minded sudah terlihat di sekitar kita. Bila dulu menginginkan membaca buku yang berbeda, maka kita harus membawa lebih dari sebuah buku yang tentu saja sangat berat. Tetapi saat ini, digitalisasi memudahkan peradaban manusia. Berbagai artikel dari berbagai buku yang berbeda dapat kita dapatkan hanya lewat satu klik saja.

            Dunia saat ini memasuki era revolusi industri 4.0 disruptive innovation, menekankan pada aspek digital ecomony, artificial intelligence, big data, robotic dan sebagainya. Dengan kata lain saat ini adalah era pergantian wujud fisik menuju virtualisasi berbasis networking. Bila difokuskan pada pembahasan tentang dunia literasi di era revolusi industri 4.0 maka literasi tidak bisa diartikan secara sempit yaitu membaca buku fisik tebal yang berisi ratusan lembar atau duduk manis di perpustakaan sampai tertidur pulas.

Literasi generasi milenial harus difasilitasi sesuatu yang disukai dan menjadi trend di kalangan mereka. Bagi generasi milenial, buku berlembar-lembar itu dianggap barang jadul yang membosankan. Bagi generasi Y atau gen Y gedget lebih menarik daripada buku. Sementara para penulis yang aktif saat ini adalah generasi X atau gen X yang masih berada di zona nyaman dengan setumpuk referensi buku fisik yang berjajar rapi di perpustakaan kecil rumahnya.
Sudah waktunya para penulis untuk keluar dari “kotaknya” masing-masing. Melongok ke luar dan menghadapi kenyataan bahwa dunia telah mengalami disrupsi besar-besaran. Budaya membaca merupakan bagian dari kebudayaan yang akan selalu ada sampai kapanpun. Tetapi memang harus diakui bahwa media untuk mewujudkan sumber-sumber bacaan sudah harus diganti. Para penulis generasi X akan perlahan ditinggalkan bila tetap bersikukuh dengan metode bahuela-nya, buku dan pena. Kecepatan, keakuratan dan kemudahan mendapatkan berita adalah hal penting yang harus menjadi pertimbangan para penulis saat ini.

            Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, banyak sekali media online, blog dan berbagai platform online baru yang bisa dimanfaatkan oleh para penulis. Menjamurnya media elektronik sesungguhnya bukanlah ancaman bagi penulis, situasi ini malah menguntungkan penulis karena banyak sekali fasilitas yang disediakan untuk mencari referensi, data, kecepatan sharing berita, upload hasil pikiran dan lebih mendekatkan dengan para penikmat tulisan kita.

            Sudah banyak penulis dari generasi X yang telah bermigrasi dan keluar dari zaman bahuela-nya, misalnya saja penulis serta wartawan senior kita, Dahlan Iskan. Dahulu dia dikenal aktif menulis di kolom koran Jawa Post, saat ini dia mempunyai blog pribadi aktif yang dijejali banyak penikmat tulisannya. Sebut saja DI’Way, Jpnn, tweeter pribadi dan @dahlaniskan19 yang merupakan akun Instagram resmi miliknya dengan puluhan ribu follower-nya. Semua media elektronik tersebut digunakan oleh sang maestro secara produktif, menulis dan memposting tulisannya. Hasilnya luar biasa, tulisan-tulisan tersebut dalam waktu singkat bisa ditanggapi langsung oleh para pembacanya. Dahlan iskan adalah satu dari penulis generasi X yang bisa bertransformasi dan tetap diterima oleh para milenial.
catatan harian digital Dahlan Iskan. DI'S Way.
Dahlan Iskan adalah satu dari penulis gen X yang dapat bertransformasi dan diterima oleh para pembaca gen Y
 Penulis saat ini sesungguhnya malah dimanjakan dengan berbagai fasilitas mudah untuk mendapatkan uang secara instan. Menjamurnya platform news dan wiki berbasis citizen journalism menjadikan penulis lebih produktif . Platform news tersebut diantaranya adalah Doripos, Plukme, Kompasiana dan sebagainya. Tidak hanya Platform news yang tengah tumbuh subur, aplikasi sosial media untuk karya sastra juga tersedia luas, sebut saja Wattpad, webtoon, E-novel, Cabaca, Google play book, Novel plus, MangaToon dan sebagainya adalah media berbasis internet yang bisa dimanfaatkan dan dieksplore secara luas oleh para author atau penulis. Bahkan beberapa aplikasi menyediakan interaksi langsung antara author dan pembacanya. Akses internet yang dapat diakses secara global menjadikan pasar pembaca tidak terbatas hanya masyarakat lokal tetapi juga bisa ‘dinikmati’ dunia.

Dengan menjadi penulis aktif di website dan aplikasi sosial media ini nama penulis akan dikenal masyarakat luas, disamping tentu saja ada benefit yang akan didapatkan. Semakin banyak artikel yang ditulis maka semakin besarlah pundi-pundi uang yang terkumpul. Tidak hanya itu, dengan menjadi anggota dari website-website kepenulisan akan membuat karya penulis semakin matang dan bagus. Bagaimana tidak, bila tulisan-tulisan yang diposting harus bisa menarik dan citizen journalism bisa langsung memberikan like ataupun kritik secara langsung. Hal ini tentu saja akan membuat penulis menyajikan karya terbaiknya.

            Generasi Y yang sudah akrab dengan gedget dan dunia maya tentu tidak menyukai hal monoton karena membosankan. Mereka lebih tertarik pada artikel yang dapat menyajikan gambar-gambar bewarna yang memanjakan otak reptilnya. Tentu saja keuntungan penggunaan media elektronik seperti ini sulit diwujudkan oleh dunia kepenulisan paper dan pena. Adanya biaya cetak yang mahal, menjadikan artikel, buku dan sebagainya mempunyai keterbatasan biaya cetak. Kalaupun terdapat gambar, maka tidak bisa colourfull dan terbatas jumlahnya. Jujur saja menjadi penulis saat ini dituntut untuk ‘melek teknologi’, kreatif dan inovatif dengan karya-karyanya bila tidak ingin ditinggalkan pembaca dan tenggelam dalam arus disrupsi.

            Mencetak dan menerbitkan sebuah buku fisik adalah penting sebagai bukti otentik sebuah karya telah lahir. Tetapi, menerbitkannya dan memposting di media maya tidak kalah pentingnya agar jangkauan pembaca semakin luas dan nama penulis semakin dikenal. Pertanyaannya saat ini adalah siapkah para penulis untuk segera bermigrasi dan keluar dari zona nyamannya selama ini?. Pertanyaan tersebut tentu saja hanya dapat dijawab oleh sang penulis sendiri.
ikan Salmon yang tidak takut menantang arus
https://www.google.com/search  
            Menurut pakar mindset, Farouk Amsyari dalam http://furqometer.wordpress.com , hidup ini sesuangguhnya seperti aliran sungai, jangan menjadi daun yang hanyut oleh arus, jangan menjadi batu yang keras kepala tidak mau bergeser dari zona nyaman, tetapi jadilah seperti ikan yang bisa fleksibel berenang mengikuti arus. Ikan tidak pernah hanyut dalam aliran sungai bukan, bahkan ikan kadang menentang arus untuk mempertahankan hidupnya. Pun begitu juga dengan penulis, kehidupannya bisa diibaratkan ikan yang berenang di lautan disrupsi teknologi yang luas, kadang mengikuti arus, kadang pula harus membuat gebrakan dengan tulisan-tulisannya yang dapat mempengaruhi jutaan manusia dalam waktu singkat. Era disrupsi seperti saat ini bukanlah ancaman bagi penulis, malah era yang memberi kemudahan dan kesempatan luas bagi penulis untuk mengembangkan dirinya lebih baik lagi.

_Salam Takdim_
Liaiko