Sunday, October 27, 2019

CANDI GEDUNG SONGO SEMARANG

WISATA UNIK
MIXING SEJARAH Vs ALAM Vs KEKINIAN
Candi pertama
kama,.. kama,.. kama,...
menira puja sekar palapa
pada Semesta menira menghamba
pada akar menira bisikkan
menira ingin sepertinya
menusuk tanah tanpa melukai
merambat kuat tanpa menyakiti
membesar kokoh tanpa jumawa di hati
kama,.. kama,.. kama,..
arumi sekar Nirwana
puja

Hai sobat Blogger,...
Tanah Jawa ternyata menyimpan hasil budaya yang sangat kaya di setiap daerah. Bangunan bersejarah wujud sebuah peradaban bisa kita temui di berbagai tempat di pulau Jawa. Walaupun Mojokerto sendiri kaya akan candi peninggalan kerajaan besar Majapahit, tetapi bila kalian menginginkan mempelajari budaya sekaligus berpetualang maka Candi gedung Songo Semarang adalah pilihan yang tepat.

Candi Gedung Songo terletak di Semarang. Kurang lebih 15 km dari poros jalan tol Surabaya-Semarang. Candi ini berbeda dari candi-candi lainnya, bila pada umumnya bangunan candi mengelompok dalam satu tempat, maka bangunan candi gedung Songo yang seperti namanya Songo (sembilan buah_Jawa_) tersebar dalam satu areal di lereng pegunungan Ungaran Semarang. 
Jarak antara satu candi ke candi berikutnya lumayan jauh. Dari candi pertama yang ada di kaki gunung hingga candi terakhir yang terletak di puncak gunung kira-kira total jaraknya 4 km... wuih,..... (membayangkannya saja bikin sesak nafas ya guys,.. hehhe...)

Track yang berkelok, tanjakan terjal dan turunan curam
Bila kalian senang berpetualang dan hiking, maka menaklukkan candi gedung Songo hingga mencapai ke sembilan candinya adalah sebuah challenge tersendiri. Tapi sebelum mendaki pastikan kesehatan kalian benar-benar fit ya guys,... 
Pemandangan dari Candi ke-tiga,
terlihat gunung Merapi dan Rawa Pening di kejauhan
Candi ke-tiga GEDONG SONGO




















candi ke-empat
Suhu pegunungan yang dingin dan track yang harus dilewati menanjak terjal benar-benar membutuhkan nafas yang panjang dan dalam. 
Tips dari saya,... 
bernafaslah menggunakan teknik pernafasan Yoga, yaitu bernafas dengan cara tidak boros, bernafas menggunakan hidung dan tetap kunci mulut rapat-rapat walaupun kalian terengah-engah, tenangkan pikiran dan redam denyut jantung dengan menyimpan nafas dalam-dalam di perut. Tips tersebut sudah saya lakukan dan alhamdulillah dari semua pembina perempuan, saya adalah satu-satunya cewek yang survive yang bisa menaklukkan 9 candi dengan jalan kaki lho,.....
tetap tersenyum manis sesaat setelah sampai di puncak candi ke-sembilan
Seperti halnya candi pada umumnya, di dalam masing-masing candi terdapat altar pemujaan. Altar ini bentuknya meja persegi dari batu Andhesit yang digunakan untuk bangunan candi. Terdapat setangkup bunga setaman, air kendi dan kembang Kanthil. 
Untuk menghormati kemistisan candi ini, tolong jangan dipegang atau diambil sesaji ini ya guys,.... Don't touch deh pokoknya, daripada kenapa-kenapa nantinya. Bukankah lebih baik kita saling menghormati segala kepercayaan daripada menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Toh kita bukan pemegang kunci surga, jadi jangan sok jumawa di tempat peribadatan agama atau kepercayaan lainnya.
altar sesaji di dalam candi
Sepanjang perjalanan, kita akan disuguhi pemandangan sawah yang hijau serta pohon-pohon pinus dan cemara yang usianya sudah ratusan tahun. Akar-akar besar menggantung seolah Gurita raksasa yang membelit batang pohon. Pemandangan eksotis yang jarang kita temui di perkotaan. 
Berhentilah sebentar di sini, tenangkan degup jantung dan hirup Oksigen gratis yang berlimpah di bawah pohon. Jangan lupa untuk bertasbih akan kebesaran Alloh, kita akan merasa hanya debu  dalam semesta ini.
Pada akar aku berbisik, aku ingin menjadi sepertinya,...


Setelah candi ke lima, kita akan menemukan pemandian air panas, yang di dekatnya terdapat semburan gas bumi yang bau Belerangnya sangat menusuk hidung. Menurut masyarakat setempat celah keluarnya gas tersebut telah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Suara desisan gas terdengar sangat keras di antara celah-celah cadas yang warnanya sudah menghitam. Mungkin gas tersebut telah membuat reaksi Kimia sehingga cadas yang asalnya bewarna putih menjadi hitam.
semburan gas belerang setelah candi ke li
Buat kalian yang kondisi kesehatannya tidak fit, untuk mencapai ke-sembilan candi sebenarnya ada cara praktis yaitu berkuda. Kalian akan dikenakan tarif Rp. 120.000 lengkap dengan joki yang selalu mendampingi. Karena ada jalur kuda, maka di candi yang paling atas yaitu candi ke-sembilan terdapat areal luas yang digunakan sebagai istal kuda.

Dari pelataran candi ke-sembilan ini pula kita bisa melihat seluruh daerah Ungaran Semarang. Di kejauhan terlihat gunung Merapi dan rawa Pening. Semua tempat tersebut terkenal kemistisannya. Begitu disebut gunung Merapi, maka yang terlintas pertama di benak saya adalah Mak lampir bersama mantili dan Brama Kumbaranya,... hehhehe...

Bagi kalian yang tidak kuat hiking jangan khawatir, di dekat pintu masuk Gedung Songo terdapat wahana wisata yang lagi ngehits, yang bernama AYANAZ. 
Setelah mendaki gunung dan menuruni lembah, ada baiknya kalian bersantai sambil berselfie ria di tempat ini. Tiket masuk masing-masing orang cukup murah yaitu hanya Rp. 20.000 saja. Cukup murah bukan, dijamin pasti setelah pulang dari AYANAZ, galeri Instagram kalian akan penuh dengan foto-foto keren.
AYANAZ
AYANAZ SEMARANG

AYANAZ SEMARANG
AYANAZ
AYANAZ SEMARANG
Nunjuk apa toh mbak?

AYANAZ
Balon Udara AYANAZ
AYANAZ SEMARANG
AYANAZ 
Nah guys,...
wisata unik mixing antara sejarah, alam dan kekinian hanya ada di Gedong Songo Ungaran. 
So,.. Tunggu apa lagi?,...
Segera kemasi ransel kalian dan tunjukkan nyalimu, buktikan pada dunia kalian penakluk "GEDONG SONGO" Semarang..!!

Salam hangat
_LIA CHAN_

Don't forget, Happiness is created not only awaited

DESA WISATA PUJON KIDUL MALANG

MENIKMATI HANGATNYA KOPI DIANTARA KELOPAK MATAHARI DAN SEMILIR ANGIN GUNUNG PANDERMAN


"Himawari no yakusoku" (Janji bunga Matahari)
"Himawari no youna massugu na sono yasashi sa o
nukumori o zenbu,...."
...Kau yang lembut seperti bunga Matahari dan segala kehangatannya itu...

Hai sobat blogger,..

Kali ini edisi jalan-jalan "Lia Chan" akan mengulik tentang suatu tempat wisata alam yang pastinya bakal memanjakan mata kalian dengan pemandangan alamnya yang indah dan tempatnya yang oke buat bersantai bersama keluarga atau orang tersayang.

Bagi generasi millenial nongkrong di cafe merupakan lifestyle untuk membangun relationship atau sekedar pencitraan diri saja. Cafe yang dipilih biasanya yang sedang hits atau  kekinian, tempatnya pun mesti strategis dan menu makanannya harus instagramable. Sudah bukan hal yang aneh bila saat ini bukan do'a yang dilakukan saat hidangan ada di depan mata, melainkan mulai setting kamera lalu cekrek-cekrek dan klik, upload,... hehehe,... bahkan respon para follower kadang lebih cepat dari menghabiskan makanannya sendiri. 

Rasa kopi dari dulu ya begitu itu.
Pepatah mengatakan, "sesempurna apapun kopi yang kamu seduh, pasti masih menyimpan rasa pahit yang tidak bisa disembunyikan". Yang membuatnya berbeda adalah di mana dan dengan siapa kopi itu kita nikmati.

Nah, kali ini bila kalian bosan untuk menikmati secangkir kopi hitam di tempat itu-itu saja, mungkin tempat ini bisa kalian coba kunjungi.
Yup,.. CAFE SAWAH, itu adalah sebutan di plakat besar di papan penunjuk arah sepanjang jalan raya Pujon-Batu Malang. Nama ini pula yang sering muncul bila kalian searching tempat ini menggunakan GPS atau Google map. Padahal sebenarnya nama resmi tempat ini adalah  "Desa Wisata Pujon Kidul-Malang". 

Desa Pujon Kidul malang
Tempat ini letaknya sangat strategis, di dekat wisata terkenal Cuban Rondo dan diapit oleh dua pegunungan yaitu Gunung Banyak dan gunung Panderman. Jadi tidak heran bila udara di sini sangat bersih, sejuk dan segar.

Saat saya datang ke tempat ini, kebetulan bunga-bunga Matahari sedang bermekaran indah. Sehingga sejauh mata memandang terlihat hamparan bunga kuning yang berjajar menghadap ke arah timur dengan kelopak bunga yang mekar indah dan putik besar bewarna coklat yang membentuk bulatan sempurna. Kalian harus merasakan sensasi ngopi di tengah bunga-bunga Matahari ini, semilir angin sawah dan disaksikan dua gunung yang menjulang di kejauhan adalah moment romantis yang tak tergantikan,... ciee... hehehehe.

Andai saya seorang pria, maka suasana seromantis ini yang akan saya cari untuk melamar pujaan hati saya,... sayangnya saya wanita,... hahaha...
Jadi ingat sebuah lagu Jepang "Himawari no yakusoku" (Janji Bunga Matahari) yang saya tulis di prolog catatan jalan-jalan kita kali ini.

menikmati Kopi susu di tengah hamparan bunga Matahari
Pesona tempat ini tidak cukup hanya hamparan ladang bunga saja, apa yang tidak ditemukan di cafe modern, bisa kita temui di sini. Ratusan ikan emas dengan warna sisik orange, putih, merah dan perpaduan dari semua warna, lincah berenang di dalam kolam-kolam yang ada di sepanjang pematang sawah. Sementara sekawanan Bebek berbulu putih mulus saling berkejaran dalam koloninya di kolam lainnya. Bila Tuhan menciptakan taman surga, tidak belebihan bila menyebut tempat ini adalah satu serpihan surga yang jatuh di bumi.

Di tempat ini tidak hanya mata kita yang dimanjakan oleh suguhan pemandangan yang mempesoana, urusan perutpun kita akan dimanjakan dengan sajian makanan tradisional semacam nasi jagung, pepes ikan dan lalapan. Saya sangat lahap menyantap sayuran hijau mentah yang segar, karena saya tahu sayur-sayur itu dipetik langsung dari ladang di depan saya.
Yup... tomat, selada, kubis, wortel ditanam diantara deretan bunga Matahari. Konsep pemanfaatan lahan dan sanitasi yang sangat cerdas menurut saya. 



Bayangkan, untuk menikmati semua keindahan tersebut, kalian hanya butuh merogoh kantong Rp. 8000 saja untuk tiket masuk. Harga yang terlalu murah untuk sebuah tadabur alam yang mengesankan. Bercengkerama dengan alam, menghirup dalam-dalam oksigen alami dan menyimpannya di paru-paru terdalam membuat pikiran tenang dan hati sangat nyaman. Tidak terasa berjam-jam saya lewatkan di tempat ini, hingga senja mulai turun menyapa dan kopi susu saya telah dingin.


Untuk kalian yang sudah berkeluarga dan membawa anak-anak, di tempat ini juga disediakan wahana bermain berupa kolam renang dan spot-spot foto selfi yang kekinian lho. hanya dengan Rp. 10.000 atau menukarkan voucher tiket kita bisa berfoto dan berenang sepuasnya.

berbagai spot selfie
cerah
semanis gulali
sakura yang selalu kurindukan

Tunggu apa lagi guys,...
segera kemasi koper kalian dan meluncurlah ke desa Pujon Kidul Malang. Nikmatilah kopimu di atas serpihan surga yang tercecer di muka bumi, kembali dan bersatulah dengan alam. Karena Semesta akan membuatmu hidup lebih dari sekedar hidup.

_Salam_
Lia Chan

Don't forget!,... Happiness is created not only awaited







Saturday, August 10, 2019

REVIEW NOVEL EDELWEIS TAK SELAMANYA ABADI


Terima Kasih sang Maha Daya,...
   Terima Kasih sang Maha Cinta,..
        Terima Kasih pemilik jiwa,..
            Terima Kasih pada semua,..
                 Karena kalianlah aku merasa ada, 
                       karena kalianlah aku merasa berharga.


...
Alhamdulillah, segala puji bagi sang maha Daya semesta yang meletakkan ruhku di tengah kumparan ruh-ruh lain yang baik padaku. 

Novel ETSA (Edelweiys Tak Selamanya Abadi) telah dibedah dan diangkat sebagai objek dalam skripsi seorang mahasiswi jurusan Sastra Indonesia sebagai syarat kelulusan kuliah S1 nya. Selain itu, ETSA juga telah dikomentari puluhan orang pembacanya.
Komentar tersebut tidak termasuk komentar responden-responden penelitian sang mahasiswa, 

Kali ini ETSA menemukan jalur hidupnya yang lain. 
Seorang sastrawan terkenal dari bangilan Tuban dengan julukannya "mbah Joyo"  berkenan MEREVIEW NOVEL ETSA ini. Suatu kehormatan yang tak ternilai bagi saya, seorang penulis pemula yang baru terjun ke hutan belantara Literasi Indonesia. 

Review sebuah novel merupakan suatu hal yang ditunggu oleh banyak penulis. Sebagai penghargaan bahwa novelnya dapat diterima masyarakat dengan bukti telah dibaca tuntas dan diberikan apresiasi, baik berupa motivasi, kritikan ataupun hujatan. Semua review tersebut disampaikan dalam kacamata objektive sebagai penikmat sastra.

Bagi penulis, review yang diberikan oleh seorang pembaca awam pasti akan berbeda dengan komentar yang diberikan oleh seorang ahli. Saat ETSA dikomentari positif oleh pembaca kebanyakan, saya hanya mengucapkan terima kasih tanpa memikirkan lebih jauh lagi tentang karya yang sudah saya lahirkan itu. Sangat beda saat mbah Joyo, begitu saya memanggilnya, memberikan review pada novel ini.

Sebuah renungan panjang saya lakukan, membaca review beliaupun juga saya lakukan berkali-kali, seolah saya tidak ingin terlepas satu katapun. Kritikannya yang tajam menguliti kekurangan novel ini membuat saya malah bahagia. karena memang yang saya inginkan adalah sebuah "pecut" untuk mencambuk diri saya untuk selalu berbenah. 

Pujian yang saya terima pun tidak membuat saya besar kepala, karena terus terang saja, saya merasa tidak pantas menerima sanjungan tersebut, walaupun memang banyak pembaca yang mengapresiasi positif pada novel ini.

Bahkan, novel ini sudah 2x dilirik oleh penerbit Mayor. tapi karena ada beberapa kendala, ETSA belum menemukan jalannya. 

Mencungkil sejumput rasa ETSA,...


Di sini aku menantimu pembaca tercinta,..
Dalam indah cengkrama kita saat senja, membincangkan sejumput rasa yang ada bersama asa dalam secawan kopi, menyesapnya bersama. Beri tahu aku akan pahitnya rasa kopi, aku akan tersenyum dan memberimu gula. Agar rasaku menjadi sama dengan rasa milikmu.
Trima Kasih...

Ya Rabb sang maha Kasih,..

Ijinkan malam ini aku merayuMu,
menggantungkan asa disetiap larik pujaku
Luruhkan kesombonganMu, rangkul jiwaku dalam hangat ruhMu
Aku mengiba padamu,...

Ya Dzat sang mahaDaya,...
Jangan anugerahi lagi jiwa hamba ini  dengan cinta mahsyuk asmara.
Karena raga hamba tak tahan dalam dera deritanya.
Kututup kisah ini atas nama cinta.
Cinta dari sang maha cinta...

_MAKTUB_

Tuesday, July 30, 2019

DATANG DIAM-DIAM PERGI TANPA PESAN

(Catatan Perjalanan KOPDAR ke III. SPK. Semarang)

"seperti angin, keberadaanya tak terlihat, tapi jelas ada"
Btw,...Thank you mister Emcho.  nice pic
Peluit panjang masinis memekakkan telinga saat kereta yang saya tumpangi merapat di stasiun Tawang Semarang. Saya lirik jendela, para penumpang berebut turun dan disambut banyak portir yang menawarkan jasa mengangkut koper. Saya hanya tersenyum saat portir-portir dengan wajah kuyu itu menawarkan membawa koper kecilku. Bukannya saya pelit tidak memberi mereka pekerjaan, saya merasa wanita muda dengan tenaga yang berlebih untuk sekedar menjinjing koper kecil bewarna pink bergambar Hello kitty.

Pandanganku terlempar jauh menerobos ke luar stasiun, menelisik setiap sudut kota seraya menjerit kecil. “Well, Semarang, I’m coming, so...???”, tiba-tiba hormon kortisol seolah teraduk dengan serotinin dan berlimpah di dalam tubuh membuat saya sangat excited tidak sabar untuk segera mengeksplore kota ini.

            Begitu ada info Kopdar, seminar dan launching buku SPK diadakan di Unnes Semarang, otak nakal saya langsung berputar cepat. Sederet planning sudah antri menyesaki kepala. Simpang lima, Kota Tua, Lawang Sewu, lalu apalagi?, oh ya, nasi liwet dan tentu saja lumpia juga harus saya rasakan. Tapi sempat ada tarik ulur dalam hati saya, berangkat atau tidak ke Semarang. Saya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memutuskan untuk hadir atau tidak di acara SPK.   
  
Tiba di Unnes sekitar pukul 13.00, dengan tetap menjinjing koper hello kitty pink, saya melangkah menuju lantai 4 tempat acara berlangsung. Saya sengaja tidak langsung memasuki ruangan, saya ke toilet terlebih dahulu untuk merapikan diri. Perjalanan jauh dari Surabaya tanpa jeda membuat baju saya berantakan. Di Toilet, lama saya pagut bayangan di depan cermin, saya ragu. Tadi di luar, saya sempat melihat mayoritas peserta seminar perempuan memakai gamis syar’i lebar nan syariah, sementara saya?. Oh, No!

Seperti Kopdar di Tulungagung dulu, saya sendiri yang memakai jeans belel, kemeja katun longgar dan tanpa kaos kaki. Kali ini saya berkaos kaki sih, tapi sekedar agar tidak dingin saat di dalam kereta saja. Baju saya inilah yang membuat saya tidak percaya diri. Saya yakin teman-teman SPK tidak mempermasalahkan masalah pakaian, tetapi saya sendiri yang jadi sungkan dengan penampilan saya. Berkecamuk dalam pikiran, jadi masuk atau tidak ke ruangan. Tetapi sesaat kemudian saya bulatkan tekad, jauh-jauh saya datang ke Semarang untuk SPK, jadi saya harus masuk!, "Masuk saja, toh tidak ada yang mengetahui kehadiranku", batin saya.

Ya, saya anggota baru SPK, bukan anggota yang menonjol dengan banyak tulisan elegan tentang pendidikan atau agama. Saya juga tidak memiliki pekerjaan dan gelar yang bisa saya banggakan. Saya hanya Ibu rumah tangga biasa yang tersesat di dunia aksara ini. Jadi siapa yang peduli dengan pakaian saya, kecuali,....                                      
 "Lho, bu Yulia datang ya. Koq buru-buru pulang bu, tidak menginap”, mati aku batinku. 
Pak Ngainun tiba-tiba memanggil namaku dengan sangat jelas.                                           
“oh mengapa pak Ngainun tahu namaku” batinku resah.                                                  
injih bapak, maaf tidak bisa ikut Kopdar karena ada keperluan lain” jawabku cepat dan buru-buru berlalu. (Ngapunten pak Ngainun, saya malu sekali waktu itu)

Juga saat bertemu dengan salah satu bintang SPK lainnya, mister Emcho, saya sangat excited ingin berswa foto dengan beliau, hingga saya lupa dengan jeans yang saya kenakan dan asik saja berfoto dengan dosen idola saya saat S1 dulu. Keinginan untuk berfoto dengan mister Emcho sudah terpendam sejak lama, waktu di Tulungagung tidak kesampaian karena mister Emcho kelewat populer, hingga sepertinya tidak ada waktu sela untuk berswafoto dengan beliau. Tapi ternyata foto diam-diam kami menjadi viral di grup whatsapp SPK. (Ngapunten juga untuk mister Emcho, gara-gara permintaan saya kami sempat jadi tanding topic di grup)

Jadi fix, hanya tiga orang saja yang tahu kehadiran saya di Unnes kemarin, Pak Ketua, Pak Ngainun dan Mister Emcho. Seperti angin, tak terlihat tapi ada, mungkin seperti itulah gambaran yang pas untuk kehadiran saya di Seminar SPK kemarin. 

Sejak awal niat utama dari rumah adalah “tholabul ‘ilmi”, ingin mendapatkan “charge” energi dari para master dunia literasi. Saat memasuki ruangan, deretan depan yang ada mejanya sudah terisi penuh, akhirnya saya duduk di belakang, untung kaca mata saya tidak tertinggal, bila tertinggal, entahlah mungkin wajah para master menjadi blur seperti kamera HP yang kehilangan auto focusnya.

Semua materi yang disampaikan para pembicara saya tulis tangan, tentu saja dengan kecepatan menulis yang tidak lumrah. Sebenarnya sudah ada file materi yang dishare di grup, tapi sudah menjadi kebiasaan saya untuk menulis materi bila “guru” menjelaskan di depan sana. Ya, para narasumber, mister Emcho, mas Haidar musyafa dan lainnya adalah guru bagi saya. Jadi saat mereka menjelaskan sesuatu, saya harus menulisnya agar saya tetap fokus selama materi dan bisa saya baca lagi di rumah nanti. 

Para pemateri tidak hanya berbagi ilmu dan pengalamannya saja, tetapi juga mensuport dan menginspirasi kami. Walaupun jujur saja, menulis hanya sekedar hobi, tetapi saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan SPK. Saya jadi tahu bagaimana menulis yang benar, bagaimana mengungkapkan ide dan pikiran yang bijak dan bagaimana standar sikap yang harus dimiliki seorang penulis.

Hal lain yang membuat saya bangga adalah saat melihat secara langsung buku Antologi tulisan saya dan anggota SPK yang lain di launching di acara resmi seperti itu. Bulu kuduk saya meremang dan terharu saat tahu tulisan saya terpilih sebagai epilog. Seperti kehadiran saya, tidak ada seorangpun yang tahu air mata saya sempat menetes di acara launching buku yang bertajuk "Literasi di Era Disruipsi". Terima kasih SPK, terima kasih atas kesempatan luar biasa yang diberikan pada saya untuk bisa merasakan tulisan saya bersanding dengan tulisan-tulisan tingkat dewa para master dunia Literasi. Pengalaman luar biasa yang tidak akan saya lupakan.

Suatu saat, saya pasti akan ikut acara sahabat-sahabat SPK secara utuh, saya tidak akan datang secara diam-diam lagi atau menghilang tanpa pesan. Bukannya saya dengan sengaja berniat tidak ikut Kopdar, tetapi memang ada kesalahan sejak awal memahami rountdown acara, sehingga saya sudah terlanjur mempunyai planning lain setelah seminar.

Berpetualang sendiri di kota Semarang adalah impian sejak lama. Ya, sendiri dan benar-benar sendiri. Bahkan saat saya check in hotel, petugas resepsionis menanyakan sampai 3x apakah saya benar-benar sendiri. Karena jengkel saya balik bertanya, “apakah ada aturan bahwa saya tidak boleh membooking kamar Luxery room sendirian?”saya balik bertanya dan si resepsionis menggeleng, tersenyum ramah sambil memberikan kunci kamar yang saya pesan. 

Mengapa banyak orang yang sulit percaya bila saya benar-benar sendirian di suatu kota.  Apa karena saya perempuan sehingga tidak pantas keluyuran sendirian?. Toh saya juga tidak melakukan hal-hal buruk lainnya. Well,... ayolah!, saat ini dunia tengah sibuk berpacu dengan industri 4.0, apakah kita masih terperangkap pada dikotomi laki-laki pantas dan perempuan tidak?. 

Sendirian jalan-jalan di Semarang bukan pengalaman pertama saya, sebelumnya pernah juga saya lakukan di beberapa kota lainnya. Kenapa harus takut?, toh saya sudah mengantongi izin dari suami. Bagi saya, ridho suami adalah ridho Alloh. Saya tidak takut berpetualang sendiri, ada Alloh yang menjaga saya. Jangankan di Semarang. Di Jakarta dan Tokyo pun saya berkali-kali sendirian dan alhamdulillah, sejauh ini tidak ada masalah.

Sabtu malam, saya mengeksplore kota Semarang. Mulai dari kuil Sam Po Kong, Kota tua dan saya tutup dengan menikmati nasi liwet dan teh panas di Simpang Lima yang terkenal. Seperti kehadiran saya yang diam-diam saat seminar di Unnes, kali ini juga tidak ada yang mengenal saya. Sehingga juga tidak ada yang tahu bila saya berkeliling kota hanya menggunakan baby doll di balik jaket bomber tipis saya... hehehe,..

“Far from home, alone”, mirip judul film Hollywood squel Spidermen yang baru rilis ya. Pertanyaannya, apakah anda pernah merasakannya, Far from Home, alone?Sekali-kali cobalah, benar-benar sendirian tanpa satu orangpun yang mengenal anda, menikmati malam, menikmati riuhnya kota dan menikmati nasi liwet akan membuat anda lupa pada semua masalah. Kadang kita harus sejenak lari dari rutinitas bukan, melakukan hal-hal yang selama ini hanya ada dalam mimpi, keluar dari zona nyaman dan mewujudkan petualan-petualangan yang menantang adrenalin akan membuat “hidup” lebih hidup dari sebelumnya.

Dan sebagai orang yang hobi menulis, saya selalu mengabadikan petualangan saya dalam sebuah catatan perjalanan ringan. Saya posting tulisan itu di blog atau platform lainnya, tidak peduli orang mau membacanya atau tidak. Saya hanya ingin meninggalkan “jejak” pada semua bumi Alloh yang pernah saya singgahi sewaktu saya muda dan kuat. Suatu saat kelak, saat saya renta dan hanya bisa duduk diam di atas kursi ayunan, pasti saya akan tersenyum membaca semua “jejak” yang pernah saya tinggalkan ini.
Bagi saya, jangan ngaku penulis bila belum pernah menulis tentang perjalanan kita,...  Berarti “dolanmu kurang adoh cah-cah,..... hehhhe,...

Oh ya,....ini ada sedikit oleh-oleh dari Semarang yang sempat saya bawa pulang. Sepenggal puisi yang saya tulis di pojok Simpang Lima, di bawah papan nama persimpangan jalan sambil menunggu babang Go-jek menjemput. Dan puisi satunya saya tulis di bawah pohon beringin besar di tengah Lawang Sewu sambil menikmati semilir angin dan merdunya penyanyi jalanan yang membawakan langgam-langgam Jawa yang mendayu merdu. 

Senja memeluk malam dalam keheningan
Lepaskan jingga dalam dekapan
Terucap janji esok kan datang lagi
Mencari Dayta dalam gemerlap Kejora
Lihat!,.... Nabastala kelam tanpa bintang
Luruh sendiri dalam penantian

(Simpang Lima, 27 Juli’19. 22.48 WIB)

Kama, kama, kama
Menira puja sekar Palapa
Arumi pupus retisalya asmaraloka
Kama, kama, kama,...
bersama dupa aku kirimkan puja
pada Nirwana pemilik semesta tak bercela
Anindita

(Lawang Sewu, 28 Juli ’19. 11.00 WIB)

 _Yulia yusuf_
(Pernikmat Sastra)

Wednesday, July 24, 2019

MELEMPAR “SETAN GEPENG” WUJUD LEMPAR JUMRAH DI ERA MILENIAL


"Maaf ya guys,... foto n content ga nyambung,... hehhehehe...."
            Matahari belum terlalu condong ke barat, angin semilir seakan membelai hati bersamaan dengan suara alunan kalimat talbiyah yang mengalun sendu dilantunkan para tamu undangan. Semua orang terlihat khusuk saat kakiku melangkah memasuki pelataran rumah seorang teman yang tengah mengadakan walimatul syafar sore itu. Undangan yang lazim disebar untuk meminta doa keselamatan bagi teman, keluarga atau kerabat yang akan melakukan ibadah haji.
            Pernah terbersit di pikiranku bahwa sebenarnya para tamu Alloh itu tidak memerlukan doa dari kami semua. Bukankah do’a para tamu Alloh pasti terijabah, apalagi dipanjatkan di tanah haram Mekkah dan Madinah. Namun, bukan hanya sebatas ritual minta didoakan oleh kerabat, walimatul Safar lebih pada permohonan untuk melakukan silaturrahmi dan meminta maaf pada semua orang.
            Saya tidak bisa bercerita tentang perasaan saat menunaikan rukun Islam ke lima ini, karena saya belum pernah melaksanakannya. Yang saya tahu ya sebatas cerita dari teman yang telah berhaji atau dari buku-buku agama yang pernah saya baca. Jadi sangat naif bila saya menceritakan cara dan berbagai rangkaian ritual haji. Juga akan sangat membosankan bila saya bercerita sejarah tentang ihwal asal-usul ibadah haji karena anak SD pun sudah mengetahui kisah tersebut dari gurunya.
            Semua orang mengetahuia bahwa ibadah haji merupakan satu rangkaian dengan ibadah Qurban yang berasal dari cerita nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Bagaimana Alloh mengabadikan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an dan menjaganya hingga saat ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Masing-masing ritual ibadah haji memiliki makna yang dapat diteladani dan masih relevan hingga saat ini. Tetapi ada satu ritual yang sejak dulu menggelitik perasaan saya, yaitu lempar Jumrah.
            Saat saya masih remaja, pernah timbul pertanyaan liar di dalam otak saya bahwa ritual melempar kerikil ke 3 tiang yang berdekatan itu hanyalah sesuatu yang sia-sia, mengapa demikian. Karena logikanya bila melempar jumrah adalah simbol melempari setan dengan batu kerikil, maka jelas setan manapun tidak akan lari ketakutan. Melempar menggunakan batu segede gaban saja setan tidak akan lari, apalagi hanya dengan kerikil kecil. Pemikiran logika saya yang keblabasan pun semakin liar, yaitu bila dilihat dari asal penciptaan setan dari api, maka mestinya yang di lempar saat Jumrah, bukan menggunakan kerikil, melainkan menggunakan air, karena musuh abadi dari api adalah air. Mungkin bila dilempar dengan air setan tidak hanya lari, tetapi sekalian “wuss” mati. Hehhehe,...
            Logika keblabasan yang saya ungkapkan tersebut pasti juga pernah dirasakan oleh sebagian sahabat muslim lainnya. Hati-hati saudaraku, logika kebablasan tersebut bisa mendekatkan diri kita pada kekufuran.  Mengapa demikian, tidak semua perintah Tuhan perlu dilogika, walaupun sangat banyak perintah Tuhan yang dapat dibuktikan dengan keilmuan. Kembali pada pembahasan ritual haji yang menarik pikiran saya sejak remaja yaitu lempar Jumrah juga tidak bisa bisa dijelaskan hanya dengan logika semata. Tetapi perlu kacamata ketaatan yang dibingkai dalam keimanan yang ada di dalam hati kita. Bukankah hati manusia merupakan pusat perenungan dan perasaan, muara dari logika yang ada dalam akal manusia.
            Lempar Jumrah adalah simbol perlawanan manusia pada setan. Yang namanya simbol ya hanya sebagai penanda, bukan wujud asli setan ada dalam tiang-tiang tersebut. Setan tidak akan merasakan kesakitan atas kontak fisik tubuhnya dengan batu, tetapi mereka merasa kesakitan melihat manusia (baca: hamba Alloh) yang percaya, beriman, tunduk, patuh dan ingat pada Alloh ta’ala. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
                                 إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه
Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
            Pada saat melempar batu, ja’maah haji seraya bertakbir mengagungkan Alloh. Ucapan takbir adalah pengakuan mutlak manusia atas kebesaran Alloh di seluruh jagat, tidak ada Dzat melebihi kesempurnaan Alloh. Inilah sesuangguhnya yang sangat menyakitkan bagi setan dan teman-temannya. Mereka sangat terhina karena manusia begitu mengagungkan Alloh. Jadi stop untuk berpikir bahwa melempar jumrah tidak masuk dalam logika manusia dan sia-sia belaka. Jangan-jangan pikiran liar kita tersebut juga bagian dari bisik rayu setan yang membuat hati kita ragu-ragu. Nah lho,...
            Lempar jumrah berawal dari kisah nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, bujuk rayu setan untuk mempengaruhi manusia bisa melalui apa saja, termasuk diungkapkan secara langsung oleh orang-orang terdekat. Saat ini setelah 4000 tahun berlalu, rupanya setan juga memasuki era milenial. Mereka tidak mau kalah atas modernisasi manusia. Bujuk rayu setan CS pada manusia juga ikut menyesuaikan zaman. Bila saat ini manusia memasuki era industri 4.0 yang hampir pada semua kehidupannya dilakukan dengan digital, maka setan juga memanfaatkan digitalisasi ini untuk mempengaruhi manusia. Mungkin kita tidak menyadari bahwa “setan gepeng” saat ini mengikuti kita ke mana saja. Ya, setan di era milenial ini tidak lagi berwujud menyeramkan dengan dua tanduk di kepalanya atau mata besar yang melotot tajam dengan dua taring yang runcing, tetapi setan milenial lebih berwujud anggun dan berkelas. Gadget kita adalah setan dalam wujud lainnya.
            Kita bisa melalaikan waktu sholat karena terlalu lama stalking di dunia maya atau hati anda tersusupi riya’, pamer atas harta, pekerjaan dengan memposting di berbagai medsos dengan tujuan untuk dipuji orang lain. Atau kita tidak merasa telah ghibah dengan ikut berkomentar di akun-akun gosip?. Tidakkah kita juga mendapatkan dosa pemfitnah bila tanpa sadar menyebarkan berita hoax akan sesuatu. Kita juga bisa terumbar syahwat dan birahi saat dengan mudahnya mensearching kontent porno di internet dan banyak lagi keburukan yang membawa dosa bila kita tidak bijak menggunakan gedget kita.
Jadi, bujuk rayu setan hari ini ternyata lebih dahsyat dari bujuk rayu setan 4000 tahun yang lalu bukan?. Luar biasa sekali ternyata metamorfosis setan untuk menyesatkan manusia.
            Kalau nabi Ibrahim, ibu Hajar dan Ismail dengan senang hati dan sangat bersemangat melempari setan agar tidak mengganggu keimanannya dan diabadikan Alloh dalam hikmah melempar Jumrah saat ibadah haji, apakah saat ini kita juga mampu melemparkan “setan gepeng” yang kita timang-timang setiap hari itu jauh-jauh dari hidup kita?.
Kalau perlu jangan hanya dilempar “setan gepengnya”, siram air sekalian agar “setan”nya “mati” dan tidak mengganggu ibadah kita lagi. Kalau anda siap melempar gedget, saya siap menerimanya,... hehehhe,...

Wallohu’alam bisshowaf
Yulia Yusuf

Thursday, April 25, 2019

“NDUK, …. WANITA ITU (TIDAK) HARUS BEKERJA”


(Sebuah wasiat dari ibu yang akan saya sampaikan juga ke anak gadisku kelak)

a Real Angel in my life


Ingatan saya terbang beberapa puluh tahun yang lalu, pagi itu kira-kira jam 6 pagi, ibu tengah melukis alisnya di depan cermin yang ada di dalam kamar. Dengan teliti ibu menggoreskan sebatang pensil yang kelak saya tahu itu adalah pensil alis, pensil yang khusus untuk menggambar alis. Karena saat itu yang saya tahu pensil ya pensil, seperti pensilku yang selalu runcing untuk menulis halus di sekolah. Waktu itu usia ibu kira-kira seusiaku saat ini, tiap pagi harus menempuh jarak yang jauh untuk mengabdi di sebuah SD pinggiran sebagai kepala sekolah. Saya terus mengamati ibu berdandan, setelah kedua alisnya terlukis indah, tangannya mengoleskan lipstik warna peach di bibirnya yang tipis, lalu selembar kain warna coklat susu ditutupkannya menyelimuti rambutnya yang hitam, terakhir bros bunga kecil disematkan di dada sebelah kiri. Duuuh,... cantik sekali wajah ibu saat itu.
           “hei, kenapa kamu dari tadi mengamati ibu dandan” tanya ibu tiba-tiba sambil melirikku. Aku terdiam sesaat. Lalu merangsek mendekati ibu yang sudah rapi dengan seragam dan siap berangkat kerja.
            “ibu, kenapa ibu bekerja. Tidak seperti ibu-ibu temanku yang lain tetap di rumah. Aku sakit, aku sendirian di rumah” tanyaku merajuk.
Ibu menatapku lembut, bibirnya yang berwarna peach ditariknya membentuk lengkungan yang indah.
            “Dengar ya nduk, kamu ingat kata-kata ibu ini samapai kamu menikah nanti. Wanita itu harus punya pekerjaan. Pekerjaan apapun itu pokok e halal. Hanya untuk berjaga-jaga bila terjadi apa-apa dengan bapakmu. Entah bapak sakit atau bapak diPHK atau bapak harus mendahului kita. Ibu tidak mau sampai anak-anak ibu tidak bisa makan atau tidak bisa meneruskan sekolah. Tidak ada yang tahu, semuanya takdir tuhan. Kita hanya makhluknya nduk. Hanya menjalani takdir yang sudah digariskan”, panjang lebar ibu berbicara padaku. Aku terdiam tidak tahu maksud dari pembicaraan ibu.
            “obat dari pak dokter semalam diminum ya, di meja makan sudah ibu masakkan nasi dan lauk. Insyaalloh sore nanti bapakmu pulang nduk. Segera sembuh ya, ibu berangkat kerja dulu” lembut tangan ibu mengusap kepalaku, aku mengulurkan tangan menyalaminya dengan takdhim.
Saat saya kelas 2 SMP, baru mengerti makna dari pesan ibu saat itu. Bapak meninggal dunia saat saya berusia 13 tahun. Sejak saat itu ibu menjadi singleparent.  Bapak tidak meninggalkan harta warisan, sehingga saya sangat tahu bahwa ibulah satu-satunya yang menopang kehidupan kami. Semua kebutuhan keluarga dan sekolah saya, ibulah yang membiayai. Saya sangat bersyukur bisa melanjutkan sekolahku terus sampai perguruan tinggi, walaupun saya memang sudah mempersiapkan strategi sejak di bangku SMA untuk mendapatkan beasiswa untuk meringankan beban ibu. Untung saat itu ibu bekerja. Saya tidak bisa membayangkan bila ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Ekonomi kami pasti colaps sepeninggal bapak.
Ada cerita lain yang dialami oleh teman karib semasa kelas satu SMA. Dia dari keluarga broken home, ayah dan ibunya bercerai saat itu. Ibunya adalah ibu rumah tangga fulltime, ayahnya tergoda wanita lain dan pergi tanpa tanggung jawab. Naila-nama temanku itu, dia mendatangiku sambil menangis, bercerita bahwa hari itu adalah hari terakhirnya masuk sekolah. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia harus rela berhenti sekolah demi adik-adiknya agar bisa bersekolah. Usianya saat itu baru 15 tahun, hanya lulusan SMP dan akhirnya dia harus bekerja di warung dekat rumahnya.
Saya tidak tahu hati ibu terbuat dari apa, bagiku dialah malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Tuhan untuk menjaga dan merawat anak-anaknya. Ibu sosok wanita tegar yang seolah mengetahui masa depan lewat kata-katanya. Percakapan pagi beberapa belas tahun yang lalu kembali terngiang, saat itu ibu berkata“wanita harus bekerja, apapun asal halal untuk persiapan bila di tengah perjalanan rumahtangganya terjadi hal yang tidak diinginkan”.
Ibu dengan segala petuah dan pesannya secara tidak sadar menginspirasiku untuk mengikuti jejaknya. Walaupun suamiku bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, tapi saya atas ijin suami tetap bekerja sebagai guru di salah satu Aliyah di kotaku. Saya niatkan kerjaku sebagai ibadah, bukankah nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim menyebutkan bahwa “Innamal ‘amalu binniyat”, yang artinya kurang lebih “amal itu tergantung niatnya”. Bila diniatkan baik, maka hasil yang didapatpun akan baik. Maka saya niatkan kerja sebagai ibadah, untuk menyampaikan ilmu kepada murid-murid semua. Semoga apa yang saya lakukan dalam pekerjaan saya dicatat sebagai amal jariyah yang tetap mengalir sampai  nantinya.
Saya bukan ulama, saya juga bukan bu nyai atau santri dari sebuah pondok pesantren yang mengetahui banyak ayat, dalil-dalil dan mengaji banyak kitab. Ilmu agama saya hanya seujung kuku yang saya dapatkan dari pak ustad yang mengajar di musholla kompleks perumahan. Dari sedikit ilmu agama yang saya punyai, mereferensikan ibunda mulia Khadijah istri nabi Muhammad juga seorang wanita pekerja. Selama wanita mendapatkan ijin dari suaminya, bisa menjaga kehormatan, tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu dan bekerja dengan tetap menjaga syariat-syariat yang ada, maka Why Not?, menjadi wanita pekerja bukan lagi sebuah hal yang musti diperdebatkan panjang lebar.
O ya,... Saat ini usia ibu sudah 75 tahun, beliau sudah mulai pikun. Mungkin juga apa yang dulu pernah dinasehatkan pada saya, juga telah hilang dari memorinya. Tetapi pesannya saat itu masih terus menancap di otakku hingga sekarang. Hidup saat ini harus realistis, menghadapi masa depan tidak hanya dengan berserah diri, pasrah ing pandum pada suami. Bila terjadi hal yang tidak diinginkan pada kehidupan rumah tangga kita, seperti cerita saya tentang Nayla teman SMA dulu, apa yang harus kita lakukan?. Sangat tidak mungkin bila menggantungkan pada harta peninggalan suami, iya kalau meninggalkan harta warisan, kalau malah meninggalkan tumpukan hutang, bagaimana?.
Tengoklah di sekeliling kita, berapa banyak wanita yang tegar dengan berperan ganda sebagai ibu dan suami sekaligus. Berapa banyak pula wanita yang akhirnya hidup dalam belas kasihan orang lain sepeninggal suaminya. Tuhan maha sempurna, menciptakan wanita begitu luar biasa. Wanita adalah makhluk yang berhati lembut tetapi mempunyai jiwa yang sangat kuat.
Coba kita telanjangi kehidupan kita masing-masing, para pria dengan pekerjaannya di luar rumah, selalu mengeluhkan capek dan ingin istirahat saat pulang kerja. Sedangkan seorang wanita pekerja?, sepulang dari kantor yang dipegang duluan adalah sapu atau menyiapkan masakan untuk keluarganya. Saat suaminya sudah mendengkur pulas, wanita pekerja dengan menahan kantuknya menghidupkan mesin cuci dan menyetrika sekaligus. Dan saat pagi menjelang, istri yang bekerja pulalah yang paling pagi bangunnya, menyiapkan sarapan suami dan mengurus anak-anaknya. Apakah wanita seperti itu tidak merasakan capek?, wanita juga manusia, badannya masih berasal dari daging dan darah yang sama dengan pria, tentu saja dia merasakan capek juga. Tetapi sungguh luar biasa sekali bukan. Dibalik sikapnya yang gemulai ada tenaga yang sangat besar yang dimiliki oleh seorang wanita, tenaga itu seolah tidak ada habisnya, tenaga itu bernama LOVE, ya, cinta untuk keluarganya.
Menjadi ibu rumah tangga full time atau menjadi wanita pekerja merupakan sebuah pilihan bagi wanita. Dari dahulu manusia pasti akan merasa dilema bila dihadapkan pada sebuah pilihan. Kadangkala pilihan-pilihan tersebut seperti buah simalakama yang mematikan. Hidup merupakan pilihan, anda bisa bebas menentukan pilihan anda sendiri dan tetap menghormati pilihan orang lain.  
Ingatlah bahwa masa depan manusia adalah misteri yang tertutupi tabir. Tidak ada yang mengetahui kemana arah perjalanan Rumah tangga kita. Disinilah pentingnya menyiapkan sebuah rencana untuk bekerja, ketimbang suatu saat nanti semuanya sudah terlambat. Pepatah mengatakan have an Umbrella ready before the rain or “Better safe than sorry” mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan alasan wanita bekerja.

Salam Takdhim
_Liaiko_