Tuesday, April 21, 2020

DASTER DAN SARUNG Vs NILAI SISWA SAAT WORK FROM HOME

18 tahun saya mengajar, tepatnya 18 tahun kurang 3 bulan. Lama?, lumayan. Tapi tetap saya merasa menjadi guru yang baru kemarin sore, guru bau kencur di tengah teman-teman hebat saya di sekolah. Selama 18 tahun, tidak sekalipun saya punya pikiran memantau ujian hanya memakai daster longgar, klosotan di lantai sambil ngemil rengginang rasa trasi yang saya beli dari seorang teman lewat online.
Saya yakin, kolega saya yang lain juga melakukan hal yang sama, ada yang melaksanakan ujian dengan memakai babydoll longgar atau bahkan ada yang hanya menggunakan sarung dan kaos oblong saja. Hayo, silahkan angkat tangan, bila malu, cukup senyum simpul saja.

Selama 18 tahun kurang 3 bulan, sistem ujian mata pelajaran saya, normal seperti lazimnya guru memberi ujian pada siswa. Duduk di depan kelas memakai seragam dinas resmi, ber high heels dan 15 menit sekali berjalan berkeliling kelas.
Apalagi bila ujian resmi, _ kebetulan saya adalah proktor ujian CBT (Computer Based Test) di sekolah _, jadi seragam "tempur" saat ujian bertambah satu, name card yang tergantung di leher dengan tali panjang sampai ke dada.

Tidak pernah selama ini saya membayangkan menunggu ujian dengan memakai daster dan "melantai".
Falsafah agung Jawa, "Ajine rogo soko busono" seolah tak berarti lagi saat pembelajaran dari rumah. Fokusnya adalah siswa dapat belajar dengan baik, guru pun memenuhi kewajibannya untuk mengajar. Notabene tanpa melihat baju apa yang tengah dipakai, hingga ekstremnya, kadang saya belum mandi sudah duduk manis depan laptop dan menjalankan tugas saya. Selama bau belum bisa didownload, tidak mandi pun tidak masalah bukan. Kecuali, bila pembelajaran memakai video conference, saya kira harus dipikir lagi bila guru nekat tidak mandi dan memakai daster.
Pagebluk Corona ini memang benar-benar telah mengubah peradaban. Menjungkir balikkan kelaziman.

Ujian di tengah wabah Corona ini mengubah stigma horornya ujian. Tidak hanya guru, siswapun, saya percaya tidak jauh berbeda. Mereka juga memakai baju rumahan dan kadang belum mandi juga.
Siswa mengerjakan ujian di tengah keluarga yang hangat dan lingkungan terbaiknya yaitu keluarga.
Hasil ujiannya bagaimana?, tidak ada masalah dengan hasil ujiannya. Distribusi nilai dalam taraf wajar, ada yang bagus, ada yang lumayan dan tentu saja ada yang di bawah standar juga. Tetapi yang mendapat nilai di bawah standar bukan karena gurunya memakai daster lho ya.
Jadi tidak ada kolerasi antara pengawas memakai daster atau seragam dinas dengan hasil ujian siswa.

Pun saat melakukan teaching from home. Saya tidak menyangka bila ternyata guru itu multi tasking Karena semua sedang di rumah, anak-anak juga tidak sekolah, maka sebagai ibu saya harus menyiapkan masakan buat mereka, sementara di lain pihak ada tuntutan tugas untuk mengajar daring. Anda bisa membayangkan, bagaimana laptop bisa ada di depan kompor, sementara tangan saya sibuk menggoreng tetapi mata dan pikiran saya fokus ke laptop.
Jangan tanya kali ini saya memakai baju apa. Jelas, karena sedang di rumah, jadi ya seragam kebesaran seorang ibu rumah tangga yang saya kenakan, babydoll kain tipis, yang sudah sedikit kumal dan lusuh karena dicuci berkali-kali. Jangan tanya juga apakah gorengan saya pernah gosong gara-gara kelamaan menjawab pertanyaan siswa.

Bila masuk notifikasi pertanyaan dari siswa maka buru-buru saya letakkan spatula dan mengetikan penjelasan di laptop. Yang saya takutkan hanya satu, laptop saya tersiram minyak panas atau saya tidak sadar mengetik di keyboard menggunakan spatula.



Lucunya lagi, ibu saya (pensiunan kepala sekolah), bertanya sikap aneh saya, memasak sambil sebentar-sebentar lihat laptop,
"nduk, awakmu lapo?, masak karo ngedep laptop" (nduk, kamu ngapain, masak sambil lihat laptop)
"kulo mulang bu. Niki asline kulo mulang, tapi nggih kulo sambi masak" (saya ngajar bu, aslinya saya sedang ngajar sekarang, tapi saya sambi masak)
"mulang model opo ngunu kuwi. Lha muridmu ga eroh awakmu dasteran. Zamane ibuk biyen ga onok mulang model awakmu ngene" (ngajar model apa itu, apa muridmu ga bisa lihat kalo kamu dasteran. Zamannya ibu dulu ga ada yang ngajar model seperti kamu). 

Zaman sudah berganti, daster dan sarungpun saat pandemi Corona ini sudah diakui sebagai seragam sah seorang guru saat mengajar.

Belum lagi saat harus absen online, yang menggunakan aplikasi GPS Camera. Absennya ada batasan pukul 6.45-9.00, tentu jam-jam itu adalah jam crowded ibu rumah tangga di dapur.
Dalam kondisi tetap memakai daster, saya comot cardigan, hijab slup (tanpa peniti), lipstikan n senyum manis di depan kamera. Foto yang saya lihatkan hanya separuh badan, dada ke atas saja, sementara dada ke bawah... oh No!, untuk menuliskannya di sini saja saya sudah malu sekali.
Operator dan kepala sekolah tahunya saya sudah rapi mulai dari dada ke atas,
padahal saya hanya memakai daster pendek yang kadang ujungnya sangat kucel dan bekas jahitan.

Lagi-lagi hebatnya Corona, bisa membuat sesuatu yang tidak lazim menjadi lumrah dan bisa dimaklumi. Seperti daster, sarung dan babydoll, maka saat pengajaran daringpun, guru boleh dong sambil memegang spatula, cobek dan ulekan, kan guru itu multi tasking... Hahahaha...

Salam Takdhim
yulia