Wednesday, July 24, 2019

MELEMPAR “SETAN GEPENG” WUJUD LEMPAR JUMRAH DI ERA MILENIAL


"Maaf ya guys,... foto n content ga nyambung,... hehhehehe...."
            Matahari belum terlalu condong ke barat, angin semilir seakan membelai hati bersamaan dengan suara alunan kalimat talbiyah yang mengalun sendu dilantunkan para tamu undangan. Semua orang terlihat khusuk saat kakiku melangkah memasuki pelataran rumah seorang teman yang tengah mengadakan walimatul syafar sore itu. Undangan yang lazim disebar untuk meminta doa keselamatan bagi teman, keluarga atau kerabat yang akan melakukan ibadah haji.
            Pernah terbersit di pikiranku bahwa sebenarnya para tamu Alloh itu tidak memerlukan doa dari kami semua. Bukankah do’a para tamu Alloh pasti terijabah, apalagi dipanjatkan di tanah haram Mekkah dan Madinah. Namun, bukan hanya sebatas ritual minta didoakan oleh kerabat, walimatul Safar lebih pada permohonan untuk melakukan silaturrahmi dan meminta maaf pada semua orang.
            Saya tidak bisa bercerita tentang perasaan saat menunaikan rukun Islam ke lima ini, karena saya belum pernah melaksanakannya. Yang saya tahu ya sebatas cerita dari teman yang telah berhaji atau dari buku-buku agama yang pernah saya baca. Jadi sangat naif bila saya menceritakan cara dan berbagai rangkaian ritual haji. Juga akan sangat membosankan bila saya bercerita sejarah tentang ihwal asal-usul ibadah haji karena anak SD pun sudah mengetahui kisah tersebut dari gurunya.
            Semua orang mengetahuia bahwa ibadah haji merupakan satu rangkaian dengan ibadah Qurban yang berasal dari cerita nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Bagaimana Alloh mengabadikan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an dan menjaganya hingga saat ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Masing-masing ritual ibadah haji memiliki makna yang dapat diteladani dan masih relevan hingga saat ini. Tetapi ada satu ritual yang sejak dulu menggelitik perasaan saya, yaitu lempar Jumrah.
            Saat saya masih remaja, pernah timbul pertanyaan liar di dalam otak saya bahwa ritual melempar kerikil ke 3 tiang yang berdekatan itu hanyalah sesuatu yang sia-sia, mengapa demikian. Karena logikanya bila melempar jumrah adalah simbol melempari setan dengan batu kerikil, maka jelas setan manapun tidak akan lari ketakutan. Melempar menggunakan batu segede gaban saja setan tidak akan lari, apalagi hanya dengan kerikil kecil. Pemikiran logika saya yang keblabasan pun semakin liar, yaitu bila dilihat dari asal penciptaan setan dari api, maka mestinya yang di lempar saat Jumrah, bukan menggunakan kerikil, melainkan menggunakan air, karena musuh abadi dari api adalah air. Mungkin bila dilempar dengan air setan tidak hanya lari, tetapi sekalian “wuss” mati. Hehhehe,...
            Logika keblabasan yang saya ungkapkan tersebut pasti juga pernah dirasakan oleh sebagian sahabat muslim lainnya. Hati-hati saudaraku, logika kebablasan tersebut bisa mendekatkan diri kita pada kekufuran.  Mengapa demikian, tidak semua perintah Tuhan perlu dilogika, walaupun sangat banyak perintah Tuhan yang dapat dibuktikan dengan keilmuan. Kembali pada pembahasan ritual haji yang menarik pikiran saya sejak remaja yaitu lempar Jumrah juga tidak bisa bisa dijelaskan hanya dengan logika semata. Tetapi perlu kacamata ketaatan yang dibingkai dalam keimanan yang ada di dalam hati kita. Bukankah hati manusia merupakan pusat perenungan dan perasaan, muara dari logika yang ada dalam akal manusia.
            Lempar Jumrah adalah simbol perlawanan manusia pada setan. Yang namanya simbol ya hanya sebagai penanda, bukan wujud asli setan ada dalam tiang-tiang tersebut. Setan tidak akan merasakan kesakitan atas kontak fisik tubuhnya dengan batu, tetapi mereka merasa kesakitan melihat manusia (baca: hamba Alloh) yang percaya, beriman, tunduk, patuh dan ingat pada Alloh ta’ala. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
                                 إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّه
Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
            Pada saat melempar batu, ja’maah haji seraya bertakbir mengagungkan Alloh. Ucapan takbir adalah pengakuan mutlak manusia atas kebesaran Alloh di seluruh jagat, tidak ada Dzat melebihi kesempurnaan Alloh. Inilah sesuangguhnya yang sangat menyakitkan bagi setan dan teman-temannya. Mereka sangat terhina karena manusia begitu mengagungkan Alloh. Jadi stop untuk berpikir bahwa melempar jumrah tidak masuk dalam logika manusia dan sia-sia belaka. Jangan-jangan pikiran liar kita tersebut juga bagian dari bisik rayu setan yang membuat hati kita ragu-ragu. Nah lho,...
            Lempar jumrah berawal dari kisah nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, bujuk rayu setan untuk mempengaruhi manusia bisa melalui apa saja, termasuk diungkapkan secara langsung oleh orang-orang terdekat. Saat ini setelah 4000 tahun berlalu, rupanya setan juga memasuki era milenial. Mereka tidak mau kalah atas modernisasi manusia. Bujuk rayu setan CS pada manusia juga ikut menyesuaikan zaman. Bila saat ini manusia memasuki era industri 4.0 yang hampir pada semua kehidupannya dilakukan dengan digital, maka setan juga memanfaatkan digitalisasi ini untuk mempengaruhi manusia. Mungkin kita tidak menyadari bahwa “setan gepeng” saat ini mengikuti kita ke mana saja. Ya, setan di era milenial ini tidak lagi berwujud menyeramkan dengan dua tanduk di kepalanya atau mata besar yang melotot tajam dengan dua taring yang runcing, tetapi setan milenial lebih berwujud anggun dan berkelas. Gadget kita adalah setan dalam wujud lainnya.
            Kita bisa melalaikan waktu sholat karena terlalu lama stalking di dunia maya atau hati anda tersusupi riya’, pamer atas harta, pekerjaan dengan memposting di berbagai medsos dengan tujuan untuk dipuji orang lain. Atau kita tidak merasa telah ghibah dengan ikut berkomentar di akun-akun gosip?. Tidakkah kita juga mendapatkan dosa pemfitnah bila tanpa sadar menyebarkan berita hoax akan sesuatu. Kita juga bisa terumbar syahwat dan birahi saat dengan mudahnya mensearching kontent porno di internet dan banyak lagi keburukan yang membawa dosa bila kita tidak bijak menggunakan gedget kita.
Jadi, bujuk rayu setan hari ini ternyata lebih dahsyat dari bujuk rayu setan 4000 tahun yang lalu bukan?. Luar biasa sekali ternyata metamorfosis setan untuk menyesatkan manusia.
            Kalau nabi Ibrahim, ibu Hajar dan Ismail dengan senang hati dan sangat bersemangat melempari setan agar tidak mengganggu keimanannya dan diabadikan Alloh dalam hikmah melempar Jumrah saat ibadah haji, apakah saat ini kita juga mampu melemparkan “setan gepeng” yang kita timang-timang setiap hari itu jauh-jauh dari hidup kita?.
Kalau perlu jangan hanya dilempar “setan gepengnya”, siram air sekalian agar “setan”nya “mati” dan tidak mengganggu ibadah kita lagi. Kalau anda siap melempar gedget, saya siap menerimanya,... hehehhe,...

Wallohu’alam bisshowaf
Yulia Yusuf

No comments:

Post a Comment