"Maaf ya guys,... foto n content ga nyambung,... hehhehehe...." |
Matahari belum terlalu condong ke barat, angin
semilir seakan membelai hati bersamaan dengan suara alunan kalimat talbiyah
yang mengalun sendu dilantunkan para tamu undangan. Semua orang terlihat khusuk
saat kakiku melangkah memasuki pelataran rumah seorang teman yang tengah
mengadakan walimatul syafar sore itu. Undangan yang lazim disebar untuk meminta
doa keselamatan bagi teman, keluarga atau kerabat yang akan melakukan ibadah
haji.
Pernah
terbersit di pikiranku bahwa sebenarnya para tamu Alloh itu tidak memerlukan
doa dari kami semua. Bukankah do’a para tamu Alloh pasti terijabah, apalagi
dipanjatkan di tanah haram Mekkah dan Madinah. Namun, bukan hanya sebatas
ritual minta didoakan oleh kerabat, walimatul Safar lebih pada permohonan untuk
melakukan silaturrahmi dan meminta maaf pada semua orang.
Saya
tidak bisa bercerita tentang perasaan saat menunaikan rukun Islam ke lima ini,
karena saya belum pernah melaksanakannya. Yang saya tahu ya sebatas cerita dari
teman yang telah berhaji atau dari buku-buku agama yang pernah saya baca. Jadi
sangat naif bila saya menceritakan cara dan berbagai rangkaian ritual haji. Juga
akan sangat membosankan bila saya bercerita sejarah tentang ihwal asal-usul
ibadah haji karena anak SD pun sudah mengetahui kisah tersebut dari gurunya.
Semua
orang mengetahuia bahwa ibadah haji merupakan satu rangkaian dengan ibadah
Qurban yang berasal dari cerita nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Bagaimana
Alloh mengabadikan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an dan menjaganya hingga saat
ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Masing-masing ritual ibadah haji
memiliki makna yang dapat diteladani dan masih relevan hingga saat ini. Tetapi
ada satu ritual yang sejak dulu menggelitik perasaan saya, yaitu lempar Jumrah.
Saat
saya masih remaja, pernah timbul pertanyaan liar di dalam otak saya bahwa
ritual melempar kerikil ke 3 tiang yang berdekatan itu hanyalah sesuatu yang
sia-sia, mengapa demikian. Karena logikanya bila melempar jumrah adalah simbol
melempari setan dengan batu kerikil, maka jelas setan manapun tidak akan lari
ketakutan. Melempar menggunakan batu segede gaban saja setan tidak akan lari,
apalagi hanya dengan kerikil kecil. Pemikiran logika saya yang keblabasan pun
semakin liar, yaitu bila dilihat dari asal penciptaan setan dari api, maka
mestinya yang di lempar saat Jumrah, bukan menggunakan kerikil, melainkan
menggunakan air, karena musuh abadi dari api adalah air. Mungkin bila dilempar
dengan air setan tidak hanya lari, tetapi sekalian “wuss” mati. Hehhehe,...
Logika
keblabasan yang saya ungkapkan tersebut pasti juga pernah dirasakan oleh
sebagian sahabat muslim lainnya. Hati-hati saudaraku, logika kebablasan
tersebut bisa mendekatkan diri kita pada kekufuran. Mengapa demikian, tidak semua perintah Tuhan
perlu dilogika, walaupun sangat banyak perintah Tuhan yang dapat dibuktikan
dengan keilmuan. Kembali pada pembahasan ritual haji yang menarik pikiran saya
sejak remaja yaitu lempar Jumrah juga tidak bisa bisa dijelaskan hanya dengan
logika semata. Tetapi perlu kacamata ketaatan yang dibingkai dalam keimanan
yang ada di dalam hati kita. Bukankah hati manusia merupakan pusat perenungan
dan perasaan, muara dari logika yang ada dalam akal manusia.
Lempar
Jumrah adalah simbol perlawanan manusia pada setan. Yang namanya simbol ya
hanya sebagai penanda, bukan wujud asli setan ada dalam tiang-tiang tersebut.
Setan tidak akan merasakan kesakitan atas kontak fisik tubuhnya dengan batu, tetapi
mereka merasa kesakitan melihat manusia (baca: hamba Alloh) yang percaya,
beriman, tunduk, patuh dan ingat pada Alloh ta’ala. Hal ini sesuai dengan sabda
nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
إِنَّمَا جُعِلَ
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ
ذِكْرِ اللَّه
“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth).
Pada saat melempar batu, ja’maah
haji seraya bertakbir mengagungkan Alloh. Ucapan takbir adalah pengakuan mutlak
manusia atas kebesaran Alloh di seluruh jagat, tidak ada Dzat melebihi
kesempurnaan Alloh. Inilah sesuangguhnya yang sangat menyakitkan bagi setan dan
teman-temannya. Mereka sangat terhina karena manusia begitu mengagungkan Alloh.
Jadi stop untuk berpikir bahwa melempar jumrah tidak masuk dalam logika manusia
dan sia-sia belaka. Jangan-jangan pikiran liar kita tersebut juga bagian dari
bisik rayu setan yang membuat hati kita ragu-ragu. Nah lho,...
Lempar jumrah berawal dari kisah
nabi Ibrahim dan anaknya Ismail, bujuk rayu setan untuk mempengaruhi manusia
bisa melalui apa saja, termasuk diungkapkan secara langsung oleh orang-orang
terdekat. Saat ini setelah 4000 tahun berlalu, rupanya setan juga memasuki era
milenial. Mereka tidak mau kalah atas modernisasi manusia. Bujuk rayu setan CS
pada manusia juga ikut menyesuaikan zaman. Bila saat ini manusia memasuki era
industri 4.0 yang hampir pada semua kehidupannya dilakukan dengan digital, maka
setan juga memanfaatkan digitalisasi ini untuk mempengaruhi manusia. Mungkin
kita tidak menyadari bahwa “setan gepeng”
saat ini mengikuti kita ke mana saja. Ya, setan di era milenial ini tidak lagi
berwujud menyeramkan dengan dua tanduk di kepalanya atau mata besar yang
melotot tajam dengan dua taring yang runcing, tetapi setan milenial lebih
berwujud anggun dan berkelas. Gadget kita adalah setan dalam wujud lainnya.
Kita bisa melalaikan waktu sholat
karena terlalu lama stalking di dunia maya atau hati anda tersusupi riya’,
pamer atas harta, pekerjaan dengan memposting di berbagai medsos dengan tujuan
untuk dipuji orang lain. Atau kita tidak merasa telah ghibah dengan ikut
berkomentar di akun-akun gosip?. Tidakkah kita juga mendapatkan dosa pemfitnah
bila tanpa sadar menyebarkan berita hoax akan sesuatu. Kita juga bisa terumbar
syahwat dan birahi saat dengan mudahnya mensearching kontent porno di internet
dan banyak lagi keburukan yang membawa dosa bila kita tidak bijak menggunakan
gedget kita.
Jadi, bujuk rayu
setan hari ini ternyata lebih dahsyat dari bujuk rayu setan 4000 tahun yang
lalu bukan?. Luar biasa sekali ternyata metamorfosis setan untuk menyesatkan
manusia.
Kalau nabi Ibrahim, ibu Hajar dan
Ismail dengan senang hati dan sangat bersemangat melempari setan agar tidak mengganggu
keimanannya dan diabadikan Alloh dalam hikmah melempar Jumrah saat ibadah haji,
apakah saat ini kita juga mampu melemparkan “setan gepeng” yang kita
timang-timang setiap hari itu jauh-jauh dari hidup kita?.
Kalau perlu jangan
hanya dilempar “setan gepengnya”, siram air sekalian agar “setan”nya “mati” dan
tidak mengganggu ibadah kita lagi. Kalau anda siap melempar gedget, saya siap
menerimanya,... hehehhe,...
Wallohu’alam bisshowaf
Yulia Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar