KOMERSIALISASI
PERGURUAN TINGGI
DALAM PRESPEKTIF LIBERALISME MENAFIKKAN HAK WARGA NEGARA AKAN PENDIDIKAN
Yulia Pratitis Yusuf
S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri
Surabaya, yulia_yusuf@ymail.com
Abstrak
Undang Undang Pendidikan Tinggi No. 12 tahun 2012 mencederai
amanat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan Nasional, juga menimbulkan polemik dan
dualisme dari segi yuridis konstitusional dengan Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003. Pendidikan yang
berkualitas dan terjangkau adalah hak setiap Warga Negara Indonesia seperti
yang termaktub dalam UUD 1945. Liberalisasi pendidikan di Indonesia berdampak
pada adanya penetapan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan
pemberian Student Loan bagi
mahasiswa. Liberalisasi Pendidikan melahirkan praktik Komersialisasi
pendidikan, dengan ditandai oleh biaya pendidikan Tinggi yang melambung, mahal
dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat, dengan kata lain hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas
tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusi. Pemerintah
sebagai penyelenggara Pendidikan Nasional diharapkan untuk segera mengambil
langkah-langkah yang tepat dan strategis sebagai wujud dari evaluasi dan
pembenahan secara menyeluruh sistem pendidikan yang ada di indonesia.
Kata Kunci: Komersialisasi, Liberalisasi, dan Hak Warga Negara
akan Pendidikan.
Abstract
The law of Higher Education No.12 in 2012 injures the 1945 Constitution Article
31 on national education,
and it also caused polemics and duality in terms of constitutional
jurisdiction with the National Education Law No. 20 of 2003. The qualified and affordable education is the right of every Indonesian
citizen as stated the 1945 Constitution.
Liberalization
of education in Indonesia have an
impact on the realization of University Lavel BHMN (Badan Hukum Milik Negara) and giving Student’s Loan. The Liberalization of Education practice, marked by Higher
education costs soar,
more expensive and not affordable to the public, in other words the right of every citizen to get a decent
education and quality can not be met by the government as mandate of the constitution. The government as the organizer of Education is expected to immediately take appropriate
measures and strategically as a form of evaluation
and improvement of the overall
education system in Indonesia.
Keywords: Commercialization, liberalization, and the Right of Citizens shall Education.
PENDAHULUAN
Apa yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan petunjuk yang sangat otentik tentang kemana seharusnya
pendidikan Indonesia akan dibawa, tentu saja pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah idealnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Yang
mana esensi dari mencerdaskan kehidupan bangsa diterjemahkan salah satunya
dalam pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 yang membahas mengenai pendidikan di
Indonesia, ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang."
Inti dari Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 dan 3 adalah (1)
setiap Warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) pemerintah mempunyai
kewajiban menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
Hak warga Negara
untuk mendapatkan pendidikan juga tertuang dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003
pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap
warga Negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu”.
Dalam kalimat “setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”, secara terminologi bahasa, kata “setiap”
berarti “tiap”, dapat diartikan bahwa tiap-tiap anak bangsa mempunyai
kesempatan dan hak yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.
Tetapi apa yang terjadi di
lapangan tak seindah harapan, bila dilihat dari statistik yang dibeberkan oleh
Perhimpunan Rakyat Pekerja, yang diunggah dalam blog http://www.prp-indonesia.org/2012/ pada tanggal 30
Oktober 2012 menyebutkan bahwa rasio jumlah mahasiswa baru tahun 2011 dengan
populasi anak bangsa yang berusia 19-24 tahun tidak seimbang, angka partisipasi
kasar yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi hanya 18,4% dari jumlah populasi anak
usia 19-24 tahun yang seharusnya melanjutkan ke perguruan tinggi, sehingga
mahasiswa baru tahun 2011-2012 hanya sekitar 4.8 juta orang.
Rendahnya jumlah mahasiswa baru
di Indonesia ini dipengaruhi berbagai hal, diantaranya adalah biaya Pendidikan
Tinggi yang semakin melambung sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat
kebanyakan.
Bukan tidak mungkin, di
tahun-tahun yang akan datang, pertumbuhan mahasiswa baru di Indonesia semakin
merosot tajam bila tidak adanya usaha sungguh-sungguh dari pemerintah sebagai
pemegang amanat Undang-Undang dasar dan penyelenggara pendidikan untuk
mengevaluasi sistem di Perguruan Tinggi.
Yang menjadi sorotan sekarang
adalah bagaimana upaya pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan dan
pengemban amanat Konstitusi untuk menyediakan Pendidikan Tinggi yang murah dan
berkualitas jauh dari komersialisme pendidikan sehingga dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mememuhi Hak semua rakyat Indonesia untuk mendapatkan
pendidikan.
Kajian Teori
Undang-Undang Pendidikan di Indonesia.
Amanat UUD 1945 tentang pendidikan dijabarkan
pemerintah dengan membuat berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan pendidikan,
diantaranya adalah:
(1) Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(2)
Undang-undang No. 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen,
(3)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang kemudian dibatalkan oleh keputusan MK
Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret
2010, yang membuat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun
2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi.
(4)
Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi, dan
sebagainya.
Begitu
banyak payung hukum untuk penyelenggaraan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah,
namun yang menjadi isu dan meresahkan masyarakat serta harus segera dibenahi saat
ini adalah Undang-undang RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Bila
dikaitkan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 tentang pendidikan nasional, maka UU
RI nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menciderai amanat Undang Undang
Dasar 1945.
Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Ditinjau
dari terminologi bahasa, dalam kamus besar bahasa Indonesia, Komersialisasi
berarti perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.
Dalam UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa Pendidikan nasional di Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Dalam prakteknya di lapangan akhir-akhir ini, ideologi
Pancasila tersebut bergeser pada paham Liberalisme, dimana menurut Sukarna
dalam bukunya yang berjudul “Ideologi:
suatu studi ilmu politik” yang diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme
menjelaskan bahwa salah satu pokok ajaran Liberalisme menyebutkan bahwa Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara merupakan suatu mekanisme yang digunakan untuk
tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri, masyarakat pada dasarnya dianggap dapat memenuhi
dirinya sendiri, dan negara baru melangkah bila usaha yang telah
dilakukan oleh rakyat sebelumnya dianggap gagal.
Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan seakan sudah tidak bisa
dipisahkan lagi dari pertumbuhan negara Indonesia akhir-akhir ini, dibuktikan
dengan tingginya biaya untuk sekolah dan kuliah di perguruan tinggi yang melambung dan menjadikan belajar di Perguruan Tinggi bagi sebagian
orang seolah seperti pungguk yang merindukan bulan.
METODE
Penelitian ini bersifat
deskriptif kualitatif. Dalam artikel ini penulis menggunakan telaah pustaka
berupa undang-undang
pembukaan UUD 1945 alinea 4, pasal 31 tentang Pendidikan, dan UU nomer 20 tahun
2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang digunakan sebagai
acuan dalam mengkritisi UU nomer 12 tahun 2012 tentang Penddikan Tinggi.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS merupakan penjabaran dari
pasal 31 UUD 1945 tentang penyelenggaraan pendidikan dan juga berisi
rambu-rambu pelaksanaan Pendidikan Nasional yang dilakukan oleh pemerintah.
Keberadaan UU Perguruan Tinggi Nomer 12 tahun 2012 yang baru disahkan bila
dilihat secara yuridis konstitusional bertentangan dengan UU SISDIKNAS nomer 20
tahun 2003. Dalam UU SISDIKNAS pasal 20 ayat 4 berbunyi “ketentuan
mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”. Jadi,
seharusnya aturan-aturan atau penjelasan lebih lanjut mengenai Pendidikan
Tinggi di Indonesia cukup diatur dengan Peraturan Pemerintah saja, tanpa perlu
dibuatkan Undang-undang lagi yang lain karena memicu
terjadinya dualisme hukum dalam dunia Pendidikan Tinggi di Indonesia.
Kehadiran UU PT tidak lepas dari keputusan pemerintah Indonesia menandatangani skema
liberalisasi GATS (General Agreements on Trade in Services). Dalam
ketentuan GATS ini, ada 7 sektor yang harus
diliberalkan. Salah satunya adalah pendidikan nasional. Liberalisasi pendidikan pernah disetujui oleh DPR
dan pemerintah dengan membuat UU Badan Hukum
Pendidikan (BHP), tetapi UU BHP tersebut digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ternyata pemerintah dan DPR tidak kehilangan akal, walaupun UU BHP telah dicancel oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah dan DPR membuat UU Perguruan
Tinggi no 12 tahun 2012 sebagai wujud lain dari UU BHP yang memuat tentang
Liberalisasi pendidikan nasional.
Dikarenakan UU PT No. 12 merupakan wajah baru dari UU BHP maka unsur-unsur
Liberalisasi yang ada di dalamnya memicu kontroversi masyarakat luas, beberapa
pasal kontroversi dalam Undang-Undang ini tidak mencerminkan amanat dari UUD
1945 pasal 31 tentang arah dan tujuan Pendidikan Nasional.
Beberapa pasal dalam UU PT No. 12 tahun 2012 yang
dianggap kontroversial dan harus segera dievaluasi karena
menimbulkan dikotomis dan ketidakadilan bagi
masyarakat Indonesia diantaranya
adalah :
(1)
pasal 65 tentang pelepasan peran Negara tentang PTN Badan
Hukum (PTN BH).
(2)
pasal 76 ayat (2c) terdapat ketentuan tentang sistem student
loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu
secara ekonomi.
(3) pasal 90 tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga Negara lain.
Ketiga pasal di atas
menunjukkan adanya komersialisasi, Liberalisasi dan Internasionalisasi yang
mencederai UUD 1945 pasal 31 tentang Pendidikan Nasional.
Komersialisasi dalam Prespektif Liberalisasi Pendidikan
Pasal 65 ayat 1 UU PT No. 12
tahun 2012 berbunyi “Penyelenggaraan
otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 64 dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri pada PTN
dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum atau dengan
membentuk PTN berbadan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu”.
Pasal
tersebut di atas melegitimasi praktik Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Sebagai konsekuensinya,
terjadi pemisahan keuangan perguruan tinggi dari keuangan negara (otonomi non akademik). Negara tak lagi turut campur
dalam kegiatan non akademik termasuk dalam pengelolaan
keuangan Perguruan Tinggi, hal ini merupakan salah satu ciri dari Liberalisasi,
di mana masyarakat dianggap telah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
Di bawah ini merupakan nama
Perguruan tinggi yang sudah berstatus Perguruan Tinggi BHMN, yaitu:
1. Universitas Indonesia
2. Universitas Gadjah Mada
3. Institut Pertanian Bogor
4. Universitas Sumatera Utara
5. Universitas Airlangga
Bila Perguruan Tinggi yang termasuk dalam
BHMN menjadi Perguruan Tinggi yang Independent, baik dari segi pengelolaan
Akademik dan juga non Akademik, termasuk dalam hal ini masalah keuangan, maka
yang terjadi adalah, Perguruan-Perguruan Tinggi BHMN harus memenuhi kebutuhan
keuangannya secara mandiri terpisah dari keuangan pemerintah.
Hal ini menunjukkan pemerintah seolah
lepas tanggung jawab akan pembiayaan pendidikan. Imbasnya adalah Perguruan Tinggi
(PT) BHMN menaikkan biaya pendidikan yang dibebankan pada mahasiswanya sebagai
sumber pembiayaan pendidikan di kampus, hal inilah yang memicu mahalnya biaya
pendaftaran mahasiswa baru dan mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi
saat ini.
Padahal dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4
yang berbunyi “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Undang-Undang
Dasar sudah mengamanatkan 20% dari APBN dan APBD adalah untuk penyelenggaraan
pendidikan, dengan kata lain yang membiayai pendidikan adalah Negara, dalam hal
ini pemerintah harus mengupayakan suatu sistem pendidikan yang terjangkau bagi
masyarakat. Mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas merupakan
kewajiban negara, yang pada akhirnya nanti secara bertahap diharapkan
Pendidikan Tinggi di Indonesia menjadi gratis.
Di bawah
ini adalah biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang termasuk
dalam PT BHMN pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2012, yaitu:
Tabel 1. Biaya pendidikan TP di beberapa
PT di Indonesia
NO
|
Nama PT
|
Biaya Pendidikan
|
Total
|
1
|
UI
|
a. Uang Pangkal: Rp. 5jt, Rp.10 jt, dan Rp. 25 jt
tergantung fakultas
b. BOP (Biaya Operasional Pendidikan)
IPS : Rp.
100.000- Rp. 5jt
IPA : Rp.
100.000-Rp. 7.5 jt
c. DPP (Dana Pelengkap Pendidikan)
Rp. 600.000
|
Rp 10. 600.000 s/d
Rp 33.100.000
|
2
|
ITB
|
a. BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar
di Muka)
Rp. 55 jt
b. BPPS (Biaya Penyelenggaraan pendidikan Per semester)
Rp. 5
jt/semester
|
Rata-rata
·
Rp.27jt/thn
·
Rp 108 jt selama
4 tahun
|
3
|
ITS
|
a. SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi)
Minimal Rp. 5 jt
b. SPP per semester Rp. 1.8 jt
c. Biaya penyelenggaraan informasi &pengenalan ITS
Rp. 1.7 jt
|
Rata-rata
Rp. 8.500.000;
|
4
|
UGM
|
a. SPP: Rp. 500.000/semester
b. BOP, rata-rata Rp. 1.5 jt/ semester
c. SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik)
·
SPMA 0: Rp 7 jt
·
SPMA 1 :Rp. 15
jt
·
SPMA 2 :Rp. 20jt
·
SPMA 3 :Rp. 40
jt
|
Rata-rata
Rp. 9jt – Rp. 60 jt
|
5
|
UNPAD
|
Dana Pengembangan
a. Terendah :
Rp. 12 jt
b. Tertinggi : Rp. 177 jt (kedokteran)
|
Rata-rata
Rp. 12jt -Rp. 177 jt
|
Sumber: http://www.padangkini.com
Dari tabel di atas dapat diketahui betapa
mahalnya biaya Pendidikan Tinggi di Indonesia, hal tersebut adalah dampak dari
otonomi Perguruan Tinggi dari segi non akademik (keuangan) yang telah terpisah
dari Negara, sehingga kampus dengan caranya sendiri-sendiri mematok harga yang
tinggi untuk memenuhi kebutuhan keuangan kampus.
Yang terjadi di lapangan adalah tidak
semua anak bangsa bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi karena terkendala biaya.
Pendidikan di perguruan Tinggi layaknya kebutuhan mewah yang hanya golongan
masyarakat tertentu saja yang bisa menikmatinya.
Ini terlihat dari data
BPS pada Februari 2011, jumlah orang Indonesia yang bekerja pada Februari 2011
sebanyak 111.3 juta orang dengan komposisi; (a) SD ke bawah : 55.1 juta (49.33%); (b) Diploma : 3.3 juta (2.98%); (c) Sarjana : 5.5 juta (4.99%). Terlihat dari total jumlah orang Indonesia yang bekerja, hanya 2,98% saja
yang lulusan diploma dan 4,99% saja yang lulusan dari sarjana.
Dari semua data yang telah dipaparkan di
atas dapat diketahui bahwa mahalnya biaya pendidikan Perguruan Tinggi adalah
dampak dari keputusan pemerintah untuk menandatangani GATS (General Agreements on Trade in Services) tentang Liberalisasi Pendidikan
Nasional, yang pada akhirnya Perguruan Tinggi terjebak dalam praktik
komersialisasi ekonomi yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan
yang terjangkau tidak terpenuhi, dan pemerintah sebagai pengemban amanat
konstitusi harus bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap system
Liberal pendidikan yang bertentangan dengan konstitusi ini.
Student Loan termasuk
Komersialisasi Perguruan Tinggi
Dalam UU PT No. 12 tahun 2012 pasal 76 ayat 2c menyebutkan bahwa “pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: pinjaman dana tanpa
bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan”.
Pasal di atas menjelaskan adanya sistem student loan, yaitu pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa yang kurang mampu secara
ekonomi. Hal ini, di mata Koalisi Nasional Pendidikan, sangat
bertentangan dengan semangat tujuan bernegara Indonesia yaitu
“mencerdaskan kehidupan bangsa”, pasal 31 ayat 1 UUD 1945 (hak warganegara
terhadap pendidikan), dan Kovenan Hak Ekosob (UU No. 11 Tahun 2005) pasal 13
ayat 2 C yang berbunyi “pendidikan tinggi harus diadakan cuma-cuma secara bertahap”.
Student loan menciptakan iklim physikologi yang tidak baik bagi mahasiswa
penerima bantuan ini, mahasiswa tidak bisa berkonsentrasi pada bidang ilmu yang
dipelajarinya, mahasiswa akan resah apabila tidak bisa melunasi pinjamannya
setelah lulus kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan sekalipun.
UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu”. Pasal ini dapat diartikan bahwa
setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama kualitasnya,
termasuk para mahasiswa. Bantuan pemerintah yang diberikan pada mahasiswa
kurang mampu tetapi berprestasi sebaiknya diberikan dalam bentuk beasiswa tanpa
adanya kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut.
Adanya student loan juga menjadi bukti
komersialisasi pendidikan terselubung yang dilakukan oleh pemerintah. Biaya
pendidikan dianggap sebagai pinjaman yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa
dan harus dikembalikan lagi sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Bukankah
juga sudah menjadi amanat konstitusi bahwa pemerintah berkewajiban mencerdaskan
kehidupan bangsa salah satunya dengan memberikan reward berupa beasiswa kepada siswa dan mahasiswa yang berprestasi
dalam bidang akademik, seni dan olah raga untuk meningkatkan prestasi mereka
demi pendidikan nasional yang berkualitas, bukan malah mengajak mahasiswa untuk
berdagang dan berprinsip ekonomi dengan memberikan pinjaman kepada mereka.
PENUTUP
Simpulan
Bila masalah Pendidikan Tinggi yang
terjangkau belum mendapatkan solusi yang
nyata, maka bisa dipastikan bahwa rakyat akan semakin kehilangan haknya untuk
mendapatkan Pendidikan Tinggi yang berkualitas dan murah, dampaknya dapat dilihat
dari semakin merosotnya jumlah mahasiswa baru dari tahun ke tahun dikarenakan
beaya pendidikan di Perguruan Tinggi semakin melambung.
Pendidikan dalam hal ini
Perguruan Tinggi bukanlah barang yang seharusnya diperdagangkan atau
dikomersilkan sebagai alat pengeruk uang dari masyarakat yang membutuhkan
pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi hendaknya menjadi ujung tombak dalam
usaha pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemisahan Perguruan Tinggi Badan
Hukum Milik Negara dari pemerintah dengan memberikan otonomi dalam bidang non
akademik yang didalamnya termasuk masalah keuangan memberikan bukti bahwa
pemerintah lepas tanggung jawab akan pembiayaan Perguruan Tinggi, sehingga
beaya Perguruan Tinggi semakin mahal untuk masyarakat pada umumnya.
Salah satu bukti dari bentuk
Komersialisasi Perguruan tinggi yang lain adalah adanya student loan bagi mahasiswa. Pemerintah menganggap beaya pendidikan
yang diberikan adalah pinjaman yang harus dikembalikan. Selain adanya unsur
komersialisasi, student Loan juga berpengaruh negatif pada pshycology
mahasiswa. Apapun itu namanya, yang disebut dengan pinjaman atau hutang adalah
sesuatu yang berpengaruh langsung dengan kondisi kejiwaan si penerima hutang.
Komersialisasi pendidikan dalam
bentuk adanya PT BHMN yang mempunyai otonomi non akademik berupa keuangan
mandiri terpisah dari pemerintah dan pemberian student Loan kepada mahasiswa berawal dari penanda tanganan GATS (General Agreements on Trade in Services) oleh pemerintah tentang Liberalisasi
Pendidikan Nasional.
Komersialisasi Pendidikan yang Liberal membuat beaya
pendidikan melambung, mahal dan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat,
dengan kata lain hak setiap warga negara untuk
mendapatkan pendidikan yang layak tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sebagai
pengemban amanat konstitusi.
Saran
Pendidikan di Perguruan Tinggi Indonesia saat ini terlalu Liberal dan
menyebabkan praktik komersialisasi pendidikan yang sangat parah seharusnya
menyadarkan pemerintah sebagai penyelenggara Pendidikan Nasional untuk segera
mengambil langkah-langkah tepat dan strategis sebagai wujud dari evaluasi dan
pembenahan secara menyeluruh sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Pemerintah harus segara kembali pada dasar dan ideologi pendidikan Nasional
yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menghentikan praktek
Liberalisme dan Komersialisme pendidikan.
Bila komersialisme pendidikan bisa ditekan, maka peluang untuk melanjutkan
ke Perguruan Tinggi terbuka lebar bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah untuk
mendapatkan Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak setiap warga
negara Indonesia?
DAFTAR PUSTAKA
Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung:
Penerbit Alumni, 1981).
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945
Undang-Undang
RI No.20 Tahun 2003 (2006), SISDIKNAS, Bandung, Citra Utama
Situs referensi:
PadangKini.com.http://www.padangkini.com/index.php?mod=berita&id=7072.
Diunggah Senin, 28/05/2012, 2:11 WIB. Diunduh tanggal 28 Januari 2013 jam 22.18