(Sebuah wasiat
dari ibu yang akan saya sampaikan juga ke
anak gadisku kelak)
a Real Angel in my life |
Ingatan saya terbang beberapa puluh
tahun yang lalu, pagi itu kira-kira jam 6 pagi, ibu tengah melukis alisnya di
depan cermin yang ada di dalam kamar. Dengan teliti ibu menggoreskan sebatang
pensil yang kelak saya tahu itu adalah pensil alis, pensil yang khusus untuk
menggambar alis. Karena saat itu yang saya tahu pensil ya pensil, seperti pensilku yang selalu
runcing untuk menulis halus di sekolah. Waktu itu usia ibu kira-kira seusiaku
saat ini, tiap pagi harus menempuh jarak yang jauh untuk mengabdi di sebuah SD
pinggiran sebagai kepala sekolah. Saya terus mengamati ibu berdandan, setelah
kedua alisnya terlukis indah, tangannya mengoleskan lipstik warna peach di bibirnya yang tipis, lalu
selembar kain warna coklat susu ditutupkannya menyelimuti rambutnya yang hitam,
terakhir bros bunga kecil disematkan di dada sebelah kiri. Duuuh,... cantik sekali wajah ibu saat itu.
“hei, kenapa kamu dari tadi mengamati ibu
dandan” tanya ibu tiba-tiba sambil melirikku. Aku terdiam sesaat. Lalu
merangsek mendekati ibu yang sudah rapi dengan seragam dan siap berangkat
kerja.
“ibu,
kenapa ibu bekerja. Tidak seperti ibu-ibu temanku yang lain tetap di rumah. Aku
sakit, aku sendirian di rumah” tanyaku merajuk.
Ibu menatapku lembut, bibirnya yang berwarna peach ditariknya membentuk lengkungan
yang indah.
“Dengar
ya nduk, kamu ingat kata-kata ibu ini samapai kamu menikah nanti. Wanita itu
harus punya pekerjaan. Pekerjaan apapun itu pokok
e halal. Hanya untuk berjaga-jaga bila terjadi apa-apa dengan bapakmu.
Entah bapak sakit atau bapak diPHK atau bapak harus mendahului kita. Ibu tidak
mau sampai anak-anak ibu tidak bisa makan atau tidak bisa meneruskan sekolah.
Tidak ada yang tahu, semuanya takdir tuhan. Kita hanya makhluknya nduk. Hanya
menjalani takdir yang sudah digariskan”, panjang lebar ibu berbicara padaku.
Aku terdiam tidak tahu
maksud dari pembicaraan ibu.
“obat dari pak dokter semalam diminum ya, di
meja makan sudah ibu masakkan nasi dan lauk. Insyaalloh sore nanti bapakmu
pulang nduk. Segera sembuh ya, ibu berangkat kerja dulu” lembut tangan ibu
mengusap kepalaku, aku mengulurkan tangan menyalaminya dengan takdhim.
Saat saya kelas 2 SMP, baru mengerti makna
dari pesan ibu saat itu. Bapak meninggal dunia saat saya berusia 13 tahun. Sejak saat itu
ibu menjadi singleparent. Bapak tidak meninggalkan harta warisan,
sehingga saya sangat tahu bahwa ibulah satu-satunya yang menopang kehidupan
kami. Semua kebutuhan keluarga dan sekolah saya, ibulah yang membiayai. Saya sangat
bersyukur bisa melanjutkan sekolahku terus sampai perguruan tinggi, walaupun saya
memang sudah mempersiapkan strategi sejak di bangku SMA untuk mendapatkan
beasiswa untuk meringankan beban ibu. Untung saat itu ibu bekerja. Saya tidak
bisa membayangkan bila ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Ekonomi kami pasti colaps sepeninggal bapak.
Ada cerita lain yang dialami oleh
teman karib semasa kelas satu
SMA. Dia dari keluarga broken home,
ayah dan ibunya bercerai saat itu. Ibunya adalah ibu rumah tangga fulltime, ayahnya tergoda wanita lain
dan pergi tanpa tanggung jawab. Naila-nama temanku itu, dia mendatangiku sambil
menangis, bercerita bahwa hari itu adalah hari terakhirnya masuk sekolah.
Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia harus rela berhenti sekolah demi
adik-adiknya agar bisa bersekolah. Usianya saat itu baru 15 tahun, hanya
lulusan SMP dan akhirnya dia harus bekerja di warung dekat rumahnya.
Saya tidak tahu hati ibu terbuat
dari apa, bagiku dialah malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Tuhan untuk
menjaga dan merawat anak-anaknya. Ibu sosok wanita tegar yang seolah mengetahui
masa depan lewat kata-katanya. Percakapan pagi beberapa belas tahun yang lalu kembali
terngiang, saat itu ibu berkata“wanita
harus bekerja, apapun asal halal untuk persiapan bila di tengah perjalanan
rumahtangganya terjadi hal yang tidak diinginkan”.
Ibu dengan segala petuah dan
pesannya secara tidak sadar menginspirasiku untuk mengikuti jejaknya. Walaupun
suamiku bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, tapi saya atas ijin suami tetap
bekerja sebagai guru di salah satu Aliyah di kotaku. Saya niatkan kerjaku
sebagai ibadah, bukankah nabi Muhammad SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim menyebutkan bahwa “Innamal ‘amalu binniyat”, yang
artinya kurang lebih “amal itu tergantung niatnya”. Bila diniatkan baik, maka
hasil yang didapatpun akan baik. Maka saya niatkan kerja sebagai ibadah, untuk
menyampaikan ilmu kepada murid-murid semua. Semoga apa yang saya lakukan dalam
pekerjaan saya
dicatat sebagai amal jariyah yang tetap mengalir sampai nantinya.
Saya bukan ulama, saya juga bukan bu
nyai atau santri dari sebuah pondok pesantren yang mengetahui banyak ayat, dalil-dalil
dan mengaji banyak kitab. Ilmu agama saya hanya seujung kuku yang saya dapatkan
dari pak ustad yang mengajar di musholla kompleks perumahan. Dari sedikit ilmu agama
yang saya punyai, mereferensikan ibunda mulia Khadijah istri nabi Muhammad juga
seorang wanita pekerja. Selama wanita mendapatkan ijin dari suaminya, bisa menjaga
kehormatan, tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu dan bekerja dengan tetap
menjaga syariat-syariat yang ada, maka Why
Not?, menjadi wanita pekerja bukan lagi sebuah hal yang musti diperdebatkan
panjang lebar.
O ya,... Saat ini usia ibu sudah 75
tahun, beliau sudah mulai pikun. Mungkin juga apa yang dulu pernah dinasehatkan
pada saya, juga telah hilang dari memorinya. Tetapi pesannya saat itu masih terus
menancap di otakku hingga
sekarang. Hidup saat ini harus realistis, menghadapi masa depan tidak hanya
dengan berserah diri, pasrah ing pandum
pada suami. Bila terjadi hal yang tidak diinginkan pada kehidupan rumah tangga
kita, seperti cerita saya tentang Nayla teman SMA dulu, apa yang harus kita
lakukan?. Sangat tidak mungkin bila menggantungkan pada harta peninggalan
suami, iya kalau meninggalkan harta warisan, kalau malah meninggalkan tumpukan
hutang, bagaimana?.
Tengoklah di sekeliling kita,
berapa banyak wanita yang tegar dengan berperan ganda sebagai ibu dan suami
sekaligus. Berapa banyak pula wanita yang akhirnya hidup dalam belas kasihan
orang lain sepeninggal suaminya. Tuhan maha sempurna, menciptakan wanita begitu
luar biasa. Wanita adalah makhluk yang berhati lembut tetapi mempunyai jiwa
yang sangat kuat.
Coba kita telanjangi kehidupan kita
masing-masing, para pria dengan pekerjaannya di luar rumah, selalu mengeluhkan
capek dan ingin istirahat saat pulang kerja. Sedangkan seorang wanita pekerja?,
sepulang dari kantor yang dipegang duluan adalah sapu atau menyiapkan masakan
untuk keluarganya. Saat suaminya sudah mendengkur pulas, wanita pekerja dengan
menahan kantuknya menghidupkan mesin cuci dan menyetrika sekaligus. Dan saat
pagi menjelang, istri yang bekerja pulalah yang paling pagi bangunnya,
menyiapkan sarapan suami dan mengurus anak-anaknya. Apakah wanita seperti itu
tidak merasakan capek?, wanita juga manusia, badannya masih berasal dari daging
dan darah yang sama dengan pria, tentu saja dia merasakan capek juga. Tetapi
sungguh luar biasa sekali bukan. Dibalik sikapnya yang gemulai ada tenaga yang
sangat besar yang dimiliki oleh seorang wanita, tenaga itu seolah tidak ada
habisnya, tenaga itu bernama LOVE, ya, cinta untuk keluarganya.
Menjadi ibu rumah tangga full time atau menjadi wanita pekerja
merupakan sebuah pilihan bagi wanita. Dari dahulu manusia pasti akan merasa
dilema bila dihadapkan pada sebuah pilihan. Kadangkala pilihan-pilihan tersebut
seperti buah simalakama yang mematikan. Hidup merupakan pilihan, anda bisa
bebas menentukan pilihan anda sendiri dan tetap menghormati pilihan orang lain.
Ingatlah bahwa masa depan manusia
adalah misteri yang tertutupi tabir. Tidak ada yang mengetahui kemana arah
perjalanan Rumah tangga kita. Disinilah pentingnya menyiapkan sebuah rencana
untuk bekerja, ketimbang suatu saat nanti semuanya sudah terlambat. Pepatah
mengatakan “have
an Umbrella ready before the rain” or “Better safe than sorry” mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan alasan wanita bekerja.
Salam Takdhim
_Liaiko_